Bab 40 Roof Top

149 23 15
                                    

Bermacam pakaian yang berjejer menggantung di jemuran, roof top komplek Makkah itu telah Azkal jelajah satu persatu. Namun sampai menghabiskan waktu bermenit-menit lamanya, juga sampai suara bel pertanda masuk sekolah berbunyi, ia sama sekali tak menemukan keberadaan baju seragam pramukanya.

Azkal frustasi. Ia melempar-lempar sembarang berbagai jenis pakaian di antara gundukan pakaian tak jelas. Sungguh, ia masih ingat betul beberapa pakaiannya termasuk seragam pramuka, kemarin sore ia jemur di sebelah pojok Utara jemuran. Tapi kenapa sekarang seragam pramukanya hilang tak berjejak? Sementara pakaian lainnya masih jelas ada menggantung.

Azkal terduduk kaku, menyender punggungnya ke dinding pagar roof top. Lalu kedua telapak tangannya menutupi seluruh wajah dengan desak air mata memaksa keluar.

Ya, pikiran lelaki bermata hazel itu kalut. Otaknya serasa ingin meledak, seiring hatinya terasa seperti tertusuk-tusuk sembilu.

"Hiks ... Hiks ... Hiks ...." Ada isak tangisnya yang terdengar lirih.

Wahai semesta, Azkal menangis bukan karena kehilangan seragam pramukanya, bukan, bukan karena itu. Seragam pramuka bisa ia pinjam ke orang lain, atau bila perlu ia bisa beli lagi. Tidak jadi beban masalah. Tapi ada yang lebih menyakitkan dari hal itu, yang membuat hati dan jiwanya kacau balau.

Sakit. Sakit sekali, sungguh. Jikalau perkara membunuh ialah perbuatan halal. Mungkin lelaki bernama Farid itu sudah ia bunuh detik itu juga, atau bila perlu ia cincang habis-habisan. Demi menuntaskan kemarahan jiwanya.

Di kepala Azkal bayang-bayang peristiwa pagi tadi terus menerus membelenggu. Semakin menjadi-jadi malah. Hingga setiap detik berjalan, napasnya serasa sesak. Lalu rasa sakit itu menyebar ke segala inci tubuh, sampai kedua sudut matanya memanas, ingin menangis berteriak sejadi-jadinya.

Azkal membayangkan. Jika memang orang-orang termakan fitnah itu, hingga ia dicap sebagai terdakwa. Betapa malangnya dirinya. Maka ia akan menunggu saja takjiran menyakitkan yang dilayangkan pengurus keamanan. Seperti yang sudah-sudah, ia pernah melihat santri seniornya. Rambut indah ala Jungkok Azkal akan digunduli tak beraturan. Lalu ia akan dibanjur atau istilahnya digerujug oleh air spitenk, yang barang tentu bau amat busuk. Tidak sampai di situ saja, selanjutnya ia akan diarak keliling pondok, digenjringi, dalam balutan tubuh setengah telanjang. Ditambah lagi cemong-cemong di beberapa bagian tubuhnya serta sebuah tulisan menggantung di leher. Tulisan itu cukup besar, berbunyi; JANGAN DEKATI SAYA. SAYA ADALAH PENCURI. YANG MENCURI UANG SANTRI-SANTRI. Bahkan yang lebih parahnya lagi dirinya akan dilempari berbagai benda sampai sampah sekalipun. Lantas akan kembali dipermalukan dengan berkeliling ke pondok putri. Betapa menyedihkannya dirinya nanti. Naudzubillah mindzalik.

Azkal menggeleng keras. Tidak. Ia tidak mau bayangan itu menjadi kenyataan. Ia tidak mau seperti itu. Jika memang harus terjadi, mungkin lebih baik ia mati saja bunuh diri. Ketimbang harus mendera malu seumur hidup. Harga dirinya akan dibawa kemana?

Dalam kekalutan jiwanya itu perlahan Azkal bangkit. Ia menuju roof top sebelah selatan, yang tak terdapat deretan jemuran, hanya hamparan luas saja. Roof top di sana pun agak lebih tinggi dan pembatas pagar tidak terlalu tinggi pula.

Masa bodoh dengan keadaan di bawah, terlebih hukuman jika terlambat sekolah. Entah saat ini tak ada pikiran ke sana di benak Azkal. Lelaki itu kini merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Menghembuskan napas sesaknya dalam-dalam. Seakan-akan ia tengah mencari napas-napas sejuk dari udara pagi, menghirupnya hingga menghilangkan kekalutan di jiwa.

Selanjutnya Azkal malah berteriak, mengeluarkan segala amarah. "Fariiid! Lo tuh bangsat! Bajingan! Gue nggak ngerti kenapa lo fitnah gue? Apa yang salah sama gue, Farid? Apa? Sampai tega-teganya lo ngelakuin hal bejat itu. Gue bukan pencuri yang lo maksud, Farid. Omongan lo itu semuanya bulshiiit!"

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now