Bab 49 Tahun Ketiga

186 19 0
                                    

Tahun ajaran ketiga.

Malam Jumat itu masjid putra Pondok Kebon Bambu nampak riuh dipadati insan-insan yang merindu Baginda Nabi. Dalam mahallul qiyam semuanya berdiri, berdendang dan menghayati tiap bait-bait untaian sholawat nabi, dipandu oleh suara merdu al-muthaghoni serta tabuhan rebana. Menambah kesyahduan suasana marhabanan di tahun ajaran baru, Pondok Kebon Bambu selepas liburan panjang.

Marhaban ya nurol 'aini

Marhaban jaddal husaini

Marhaban ahla wa salam

Marhaban ya khoirodai

Para ustad memimpin barisan di sebelah selatan, di depannya berjejer dari selatan ke utara dan menghadap jamaah santri-santri ialah para ustad-ustad lawas, para dewan pembimbing, dewan pengarah dan dewan pengasuh romo Kyai muda –Ang Anwar. Sementara di sebelah utara disesaki santri-santri penabuh rebana beserta Al-muthaghoni atau istilah lainnya pemimpin marhabanan ialah diisi oleh dua orang santri pemilik suara merdu. Yang satu santri berbadan agak gempal bernama Kang Syubhan dan satunya lagi, selain memiliki suara emas, juga pemilik paras bak titisan nabi Yusuf –Si lelaki bermata hazel, Muhammad Azkal Immanuel Jackson.

Tatkala mencapai bait-bait berikut ini, semuanya mendendang syahdu, memejamkan mata dan meresapi tiap napas berhembus akan kehadiran Baginda Nabi Muhammad SAW. Bahkan ada pula yang sampai meneteskan air mata, begitupun bulir-bulir air mata sang vokalis, merembes jelas, mengajak sungai. Sebab bukankah Rosulullah hadir di tengah-tengah kita tatkala kita melaksanakan marhaban? Dan marhaban itu sendiri merupakan ungkapan kerinduan kita kepada Baginda nabi.

Robbi faghfirlii dzunuubi, Ya Allah

Bibarkatil hadii Muhammad, Ya Allah

Robbi farhamnaa jamii'a, Ya Allah

Biijamii'isshoolihaati, Ya Allah

Suasana syahdu itu terus berlanjut hingga bait-bait terakhir dilantunkan. Lantas usai pembacaan bait wamuhayyan selesai, mahallul qiyam selesai pula. Para insan-insan mulai duduk-duduk kembali ke posisi semula dan dilanjutkan pembacaan berikutnya yakni wabaroza.

Ternyata pada detik itu juga, di dekat tiang masjid sebelah utara agak ke belakang terjadilah sebuah drama. Yang lain sudah pada duduk, si santri berhidung mancung itu masih saja berdiri santuy, menyender punggungnya pada tiang masjid dengan kedua mata memejamkan rapat dan kepala agak menenggak ke atas beserta mulutnya yang tampak mangap seperti ikan koki. Sejurus para santri dan beberapa pengurus yang menyaksikan adegan itu, serasa dikocok perut. Mereka menahan untuk tidak tertawa.

"Mike. Mikel. Hei! Bangun, Mike," seru Ilham dengan suara pelan, namun bernada khawatir. Sebab walau acara terus berlanjut semakin banyak pasang mata memperhatikan sosok Mikel yang sendirian ngorok di tengah-tengah jamaah. Beberapa dari mereka geleng-geleng kepala.

Si empunya sendiri masih saja keenakan tidur, mungkin saking nyamannya kali, serasa dininabobokan.

"Mikel, Mikel. Bangun, ih. Udah selesai mahallul qiyamnya," lagi, Ilham si pemilik irit kuota bicara, terpaksa harus bicara banyak. Ia menarik-narik baju koko putih Mikel.

Mikel, Mikel.

Tetap, nihil. Tidak ada reaksi sedikitpun.

Baru kesekian kalinya, ketika beberapa tarikan tangan-tangan lain meraih baju Mikel, si lelaki berhidung mancung itu mulai sadar. Tapi tubuhnya menggeliat terlebih dahulu, persis seperti orang yang habis bangun tidur di atas spring bed empuk. Seraya menguap lebar-lebar.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now