Bab 47 Bestel

227 21 6
                                    

Hari-hari setelah peristiwa arak-arakan itu terjadi, suasana Pondok Kebon Bambu kembali seperti sediakala. Tak ada lagi rasa was-was di hati para santri kalau-kalau uang mereka mendadak raib. Karena efek dari takjiran waktu itu cukup membuat orang-orang yang menyaksikan menjadi jera sebelum beraksi.

Siapa yang mau harga diri terinjak-injak semenyedihkan itu? Demi apapun, pasti tidak ada yang mau. Sebab ketika satu tetes tinta hitam jatuh ke atas permukaan sebuah kanvas putih, maka noda tinta tersebut akan langsung menyebar luas, membekas, mengotori kanvas dan sulit dihilangkan. Begitu pula kanvas kehidupan manusia.

Semua orang akan mengakui, sosok Iwan –adik dari Kang Abub, kini jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dia lebih banyak diam dan menyendiri. Walau diajak mengobrol sekalipun oleh teman-teman sekamarnya. Azkal menangkap jelas perubahan itu. Bahkan untuk bercakap-cakap singkat dengannya pun, Iwan terlihat amat canggung. Entahlah, mungkin sisa-sisa rasa bersalah akibat peristiwa menyedihkan itu belum sepenuhnya sirna.

Sementara Farid semakin diluar kendali. Layaknya ketempelan jin jahat. Sikapnya jadi brutal, sensitif, kasar dan selalu merenggut masam di wajah. Tak perlu ditanyakan kabar persahabatannya dengan Iwan, ya, sudah tamat mencetak permusuhan di ending cerita mereka.

Terakhir kali Azkal dan seluruh penghuni kamar 23 Makkah mendengar kabar santri tersebut,, ialah usai perkelahiannya dengan santri senior. Lantas angin mengabarkan bahwa Farid kabur, loncat benteng dan setelahnya jejak keberadaan lelaki itu sudah tak ditemukan lagi. Entah kemana dia pergi tanpa pamit. Tapi tiga hari berikutnya kedua orangtua Farid menelpon pengurus keamanan, memberitahu katanya anaknya kabur dari pondok dan enggan untuk kembali ke sana.

Pagi Jumat ini selepas ro'an bersama, Pondok Pesantren Kebon Bambu tampak semakin ramai. Halaman depannya dipadati bermacam kendaraan para wali santri. Kalau bukan mau menjenguk atau istilahnya bestel anak santrinya, ya, mau apalagi? Di weekend Jumat ini.

Azkal tak ketinggalan pula. Biasanya Abah dan Bundanya cukup mengirimkan uang bulanan lewat transfer atau sekali-kali lewat abang-abang kurir sekalian sama keperluan keseharian lainnya. Kata Abah biar tidak dimanja. Namun sekarang Abah menyempatkan diri berkunjung, sekalian silaturahmi ke Ang Anwar katanya dan ziarah ke makam Almaghfurlah Kyai Muhammad.

Sekarang rombongan dari Bandung itu –Abah, Bunda, Niswah dan Alif sudah merapat di Pondok Kebon Bambu. Tepatnya duduk-duduk di saung yang terbuat dari bambu, bersebelahan dengan parkiran sepeda serta taman menghijau di sebelah selatan. Di sana suara gemericik air mancur dan gesekan pepohonan hijau menambah kesejukan mata. Apalagi jika terus berjalan ke arah selatan, maka akan menemukan pepohonan jati dengan daun-daun mulai lebat bersama rerumputan hijau setinggi paha orang dewasa.

Abah sedang izin ke toilet. Bunda, Niswah dan Alif dalam gendongan Bunda menemani Azkal sarapan amat lahap. Lelaki itu tampak nikmat sekali menikmati suguhan laukan spesial bikinan Bundanya berupa sambal gowang, lalapan, tempe, tahu dan beberapa laukan lainnya khas orang sunda. Ya, dia seperti orang yang kelaparan seminggu lamanya.

"Nih, tambah lagi sambalnya," ujar Bunda seraya menaruh satu sendok sambal gowang di atas piring Azkal.

"Hmm ... Makasih, Bun. Subhanallah ... Enak banget," ucap Azkal seraya mengekspresikan wajah nikmat seperti di acara-acara kuliner di televisi.

Kalau tidak mencibir, bukanlah Niswah –adik pertama Azkal. "Duuhhh ... Kayak orang yang kerasukan aja, Bang, makannya. B aja kali," cibir Niswah. Ia tampak santai menyuap nasi ke dalam mulutnya.

Azkal menunjuk-nunjuk wajah adiknya, tapi mulutnya masih dipenuhi makanan. "Hmm ... Hmm ...," Hanya gumaman itu yang keluar. Namun usai meneguk teh manis dingin, ia membalas cibiran Niswah, "Lo, Lo, nggak tahu sih gimana kehidupan Abang di sini, Nis, yang serba sederhana. Nah, makanan seenak ini tuh nothing else. Dan laukan paling enak itu oreg tempe. Pokoknya lauk-pauk apapun di dalem, sekalipun itu bergizi tinggi, ya, rasanya seadanya, kadang keasinan, kemanisan atau bahkan agak jijik. Tapi, ya, santuy aja sih yang penting perut nggak kelaparan," cerita Azkal panjang kali lebar.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang