Bab 11 Persiapan

352 43 20
                                    

"Abaaaaang ...," panggil Bunda setengah berteriak. Kepala Bunda menyembul sedikit lewat celah pintu.

"Ya, sebentar, Bunda," sahut Azkal sambil merapikan baju kokonya, seluruh tubuhnya mematut di depan cermin. Pagi ini ia memakai setelan baju koko panjang warna cream dengan sedikit ornamen dibagian krah dan kancingnya, dipadu dengan celana panjang hitam serta rambut klimis yang tampak basah. Suatu penampilan yang jarang ia lakukan ketika hendak bepergian jauh.

"Udah nggak usah rapih-rapih. Gitu juga Abang udah ganteng kok. Siapa dulu Bundanya hehe ...," kata Bunda terkekeh, "ayo, cepetan! Bunda tunggu di bawah ya. Udah pada nunggu tuh sanak-saudara."

"Iya, Bunda, sayang."

Azkal menatap sekali lagi di depan cermin berukuran cukup besar itu. Menatap wajahnya, bola matanya, iris mata berwarna hazelnya, juga tak lupa penampilannya dari ujung rambut sampai kaki.

"Ok! Perfect!" pujinya pada diri sendiri sambil tersenyum kecil.

Azkal menghela napas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Lalu mengangguk, mencoba memantapkan hati sepenuhnya. Ya, sekarang ia harus yakin dan mantap. Bahwa ini memang jalannya. Tak perlu berpikir atau berprasangka buruk dulu akan bagaimana kehidupannya nanti di pesantren. Biarkanlah, biarkan air mengalir mengikuti alur yang ada. Sesuai skenario kehidupan yang telah diatur olehNya.

"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Azkal lirih. Ia kemudian bergegas turun ke lantai dasar untuk menemui sanak-saudaranya, dari keluarga Abah dan Bunda. Kalau bukan untuk mengantar Azkal mondok, terus untuk apa lagi?

Di ruang keluarga itu sudah ramai, berkumpulnya sanak-saudara dari keluarga Abah dan Bunda. Sekitar lima belas orang lebih dari mulai bibi, pakde, sepupu sampai keponakan yang masih kecil-kecil. Keluarga Abah dan Bunda memang termasuk keluarga besar. Nenek dan kakek dari kedua keluarga sudah pada meninggal. Tinggal menyisakan anak-anaknya yang sudah pada berkeluarga. Dan Abah termasuk yang paling tua, maka setiap lebaran pasti ramai dan pada berkumpul semua di rumah Abah ini.

Azkal datang. Ia langsung menyalami setiap sanak-saudaranya satu persatu. Reaksi mereka sungguh tak bisa membuat lelaki bermata hazel itu menunjukkan wajah murung lagi. Sangat antusias sekali. Azkal tersenyum lebar.

Di samping Abah, Azkal duduk sila dengan kepala sedikit menunduk.

Acara pagi ini di mulai dengan pembacaan tawasul dan doa-doa, yang dipimpin oleh Abah sendiri. Kemudian dilanjut dengan sambutan ringan oleh Abah dan Bunda. Tentu keduanya menyampaikan rasa terimakasih, rasa syukur dan permohonan doa untuk anak laki-lakinya yang hendak mondok di Pondok Pesantren Kebon Bambu. Setelah acara sedikit formal, lalu berlanjut dengan acara makan-makan sambil bercakap-cakap ngalor-ngidul bersama seluruh anggota keluarga.

"Gimana, Kal? Udah mantep kan mau mondoknya?" tanya Wa Izzah, adik kedua dari Bunda. Anaknya dua, sepantaran dengannya.

Azkal tersenyum, mengangguk, "Alhamdulillah, Wa. Hehe... Mohon doanya."

"Awal-awalnya pasti kamu bakalan nggak betah. Tapi dijamin, setelah sebulan-dua bulan kedepan. Euh, malah maunya di pondok terus, pas liburan juga nggak mau pulang. Kayak Abahmu tuh," cerita Pakde Nafis, ia adik pertama dari Abah yang postur tubuhnya lumayan gempal. Ia tampak lahap sekali menyantap Soto Ayam di atas piringnya.

Abah nyengir dan terkekeh kecil. Bu Umi menimpali, "Oh, iya. Yang sampe diseret sama Bapak ya. Supaya pulang, keukeuh tah budak nggak mau pulang. Iya tuh, yang lain mah pada pulang. Lha, si abah keukeuh nggak mau. Saking betahnya ta apa itu ya."

"Ya, itu masa lalu. Hehe ...," sambung Abah masih tak berhenti tertawa kecil.

Azkal yang menjadi bahan pembicaraan hanya menjawab pendek dan mengangguk tersenyum. Acara makan-makan sambil ngobrol itu berlangsung sampai sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Selanjutnya ialah pamitan kepada sanak-saudara yang tidak bisa menemani keberangkatan Azkal ke pondok.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now