Bab 13 Pamit

370 42 17
                                    

Usai mengurus administrasi di kantor pusat. Kang Dzikri menemani Azkal dan lainnya berkeliling ke setiap sudut pesantren. Memperkenalkan segala hal yang ada di sana.

"Ini kamar mandi santrinya," kata Kang Dzikri berhenti di depan pintu depan kamar mandi santri.

Di sana banyak santri yang sedang ngantri mandi, juga mencuci pakaian. Karena jumlah santri nyaris seribu, maka kamar mandi pun di desain menyesuaikan keadaan. Dari pintu masuk sampai ujung ruangan berbentuk persegi panjang itu, berjejer bilik-bilik kamar mandi tanpa pintu. Setiap biliknya terdapat shower sepeti kamar mandi di rumah, bukan lagi menggunakan bak mandi besar, katanya lebih efisien terutama ketika musim kemarau.

Di depan bilik-biliknya ada lahan panjang, berkeramik, yang dapat digunakan santri untuk mencuci pakaian serta di dinding depannya ada kran air yang menempel pada tembok berukuran tinggi, ya, di sana bisa digunakan untuk tempat membilas pakaian.

Karena tiap bilik harus digunakan bersama-sama, maka alternatifnya para santri memakai celana pendek ketika mandi. Tidak telanjang bulat. Santri-santri bisa bergantian melakukan aktifitas mandi sambil mengantri bergiliran, tanpa perlu menunggu lama sampai selesainya orang yang ditunggu.

Pemandangan seperti ini tentu membuat Azkal cukup syok. Tapi ia menyadari situasi, ada Kang Dzikri, tidak boleh berbicara seenaknya, apalagi berekspresi berlebihan. Jadi Azkal hanya menggerutu, hanya menunjukkan raut wajah yang kurang bersahabat.

"Tuh, lihat kamar mandinya keren kan?" tanya Bunda sedikit tertawa kecil.

"Apa kerennya Bun? Ngantri kayak gitu," sangkal Azkal, cepat. Ia mendengus, kesal.

"Namanya juga di pondok, Kal. Mau nggak ngantri mah, ya, di rumah atuh hehe. Aya-aya wae ih," sahut Wa Mala.

"Tapi pasti seru, Kal. Mandinya bareng-bareng, bisa joinan sabun, shampo. Ngiritlah sebulan nggak usah beli peralatan mandi juga. Hehe ...," tambah Mas Ahmad.

"Tapi masa buka-bukaan kayak gitu. Malu kan, meskipun pakai celana pendek juga," keluh Azkal cemberut.

Niswah menyahut, ia tak bosan-bosannya membuat celetukan nyeleneh, yang membuat Abangnya kesal. "Lha, lo kan punya badan sexy, Bang. Di rumah aja nggak malu, pamer badan terus ke gue. Euh, harusnya di sini juga gitu dong."

"Ini mah beda situasi, Nis. Kalo di rumah kan aman dan enjoy aja, kalo lo sampe jerit-jerit kagum sama body sexy gue. No problem! Tapi, di sini, kalau mereka pada kayak gitu, kan berabe. Serem dong. Bisa gawat gue!" balas Azkal tak mau kalah, dengan pedenya.

Sejurus Niswah memutar bolamatanya, malas, "Halloww! Pede banget ih. Nggak gitu juga kali."

Azkal malah sengengesan.

Kang Dzikri memimpin rombongan berkeliling lagi. Tujuan selanjutnya ialah WC santri. Sambil berjalan, Abah bertanya, "Ini kalau musim kemarau. Airnya masih suka nggak ada ya, Kang?"

"Iya, sih, hehe ... Tapi alternatifnya mereka suka mandi ke sungai," jawab Kang Dzikri.

"Oh masih kayak dulu, ya."

"Tapi Alhamdulillah, nggak terlalu sering sampai berhari-hari tidak ada air."

Azkal mencerna pembicaran Abah dan Kang Dzikri. Dalam hati ia menggerutu, "Apa? Kalau tidak ada air mandinya di sungai. Gila! Ya Allah ... Beneran nih hidup gue bakalan susah-susahan."

Sesampainya di WC, Azkal kembali tercengang. Sebab ruangan WC-nya itu sepeti bilik-bilik warnet tanpa penutup. Bisa dibayangkan, bagaimana rasanya disaat mengantri. Azkal bergidig, ngilu, "Hiii ...."

Berikutnya Kang Dzikri membawa mereka ke ruang UKS, masjid, perpustakaan, lorong-lorong kamar dan terakhir ke kamar yang dituju. Azkal kebagian kamar 23 Makkah Al-mukarromah. Sesuai dengan kuota kamar-kamar yang masih ada sisa penambahan santri baru. Awalnya ia hendak disekamarkan dengan sepupunya, Latif, tapi ternyata kamar tersebut sudah penuh. Jadi mau gimana lagi?

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang