Bab 27 Dinner

263 38 18
                                    

Suasana kantin malam itu masih tampak ramai. Dipadati oleh santri-santri yang kelaparan. Mereka tak patah semangat demi menunggu gorengan masak. Maka tatkala gorengan yang baru diangkat dari wajan dan masih mengepulkan asap, para santri sudah seperti orang yang tengah mengantri mendapatkan sembako gratis, rusuh. Dan baru satu detik gorengan itu ditaruh di atas nampan, langsung ludes, mereka berebut, bahkan ada yang sampai jatuh atau ribut.

Di pojok lainnya, beberapa santri terlihat sabar menunggu masaknya mie instan yang juga antrian mie terlihat memanjang. Tapi ada juga dari mereka yang cukup menyantap cemilan kecil bareng-bareng sambil mengobrol ngalor-ngidul, tanpa peduli jarum pendek jam semakin merangkak menuju angka sebelas malam.

Mikel berdiri. Ia berkacak pinggang. Lalu mendecak sebal, "Deuh. Si Oppa Korea rasa bule lagi kemana, ya, Tan? Kok nggak embol-embol."

Tanaya yang tampak santai duduk di kursi panjang nan pendek, sambil menyantap cemilan kecil, bingung, "Ha? Apa? Embol-embol? Bahasa planet mana tuh?"

"Itu bahasa sundanya Si Rino, Tan. Gue lagi meraktekin sarannya si oppa Korea. Mencoba untuk kepo sama segala bahasa yang ada di atmosfer pondok ini. Supaya nggak bego-bego amat," kata Mikel serius.

"O," ucap Tanaya pendek sekali.

"Kok cuma O, doang? Kek nggak ada kata lain aja. Eh, apa kuota ngomong lo juga lagi abis, kek si Ilham. Yang nggak pernah ngomong panjang kali lebar kali tinggi?" heran Mikel.

Tanaya tersenyum kecut, "Emang mau lo kek gimana? Apa perlu gue selebrasi, pake jungkir-balik segala?"

"Ya, nggak juga sih," jawab Mikel pasrah. Ia sedikit ogah untuk berdebat dengan Tanaya, moodnya lagi buruk akibat perutnya yang terus memanggil-manggil layaknya alarm kebakaran.

"Ham, udah masak belum mienya. Lama amat sih. Apa bakal masak sampe lebaran monkey?" teriak Mikel merasa jenuh menunggu masaknya mie yang tak kunjung selesai masak.

"Dua menit lagi," jawab Ilham selalu pendek.

Seketika Azkal muncul dengan wajah masih terlihat mendung. Ia langsung menghampiri posisi kedua temannya di sebelah selatan dekat tembok.

"Annyeong, guys," sapa Azkal seraya menyerobot Aqua botol yang hendak Tanaya minum, lalu meneguknya hampir habis.

Tanaya mendesis, "Monyong, guys. Lo minta apa malak? Minuman gue sampe mau abis gini," heran Tanaya menunjukkan ke udara, isi botol minumannya yang tinggal sepertiga lagi.

"Hehe ... Sorry-sorry. Aku dehidrasi, guys." Azkal nyengir kuda.

"Lha, ini nih orangnya baru nongol. Si oppa Korea rasa bule. Kemana aja lo, oppa? Dari tadi juga ditungguin. Habis ngapain sih?" tanya Mikel beruntun.

"Kepo lo! Kayak dora," ledek Azkal.

"Yah, lo nggak bersyukur banget, Kal. Gue udah perhatian juga," keluh Mikel cemberut. Ia duduk di samping Azkal.

"Hehe ... Mian," sahut Azkal.

Kening Tanaya mengkerut, "Apa tuh? Milan? Bahasa lo, kek Si Mikel aja sih. Aneh-aneh, dapet sanad darimana?"

"Mian, Tanaya. Bukan milan. Itu tuh bahasa korea. Yang artinya maaf," kata Azkal menjelaskan kalem.

Tanaya manggut-manggut, "Ooooo, bulat. Terus tadi lo habis ngapain? Sama si Adieb juga? Eh, mana, ya, dia?"

"Nggak tahu. Aku sendirian. Habis perang akuh," jawab Azkal santai sambil memasukan cemilan milik Tanaya ke dalam mulutnya.

Bola mata Mikel langsung membulat, "Apa? Perang? Sejak kapan Belanda datang ke Indonesia, ngajak perang lagi? Kan udah sahabatan," kaget Mikel.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant