Bab 42 Labrak

173 17 10
                                    

Adieb murka. Usai mendengarkan kronologis tuduhan yang dilayangkan Farid kepada Azkal. Dengan wajah mengulum amarah, lelaki itu bangkit. Lalu segera bergegas menyambangi kamar 23 Makkah.

Tanaya, Mikel dan Ilham panik.

"Dieb ... Tunggu, Dieb. Lo mau kemana?" tanya Tanaya seraya berusaha mengimbangi langkah panjang lelaki itu. Ia benar-benar cemas, kalau Adieb seberaninya menciptakan keributan baru. Ia pun heran, kok bisa-bisanya sosok santri yang selama ini selalu bersikap alim nan teduh, mempunyai sisi murka seekstrem itu.

"Aku mau labrak dia!" tegas Adieb dengan sorot mata tajam, tanpa berpikir konsekuensinya bagaimana setelahnya.

"Ta ... Tapi, Dieb ...."

Belum selesai Tanaya berbicara Adieb langsung berlari. Niatnya untuk melabrak si penuduh begitu besar. Sebab ia sungguh tak terima teman dekatnya itu dituduh mencuri. Meski angin mengabarkan bahwa Azkal memang terbukti bersalah. Tapi naluriah Adieb menggeleng keras. Tidak, Adieb tidak percaya dengan semua akal-akalan bulshit itu. Ia tahu betul, Azkal bukan tipikal santri sebodoh itu.

"Haisss ... Gawat, Guys. Gawat!" panik Tanaya menghadap Mikel dan Ilham. Ia loncat-loncat tak jelas.

"Adieb mau labrak Kang Farid, Tan?" tanya Ilham. Sepanik-paniknya Ilham, ekspresi wajahnya tetap sama, datar.

Tanaya mengangguk cepat.

"Apa perlu gue video, ya, Tan? Keknya seru tuh. Pasti banyak viewersnya. Ketika santri ingusan melabrak santri senior," gumam Mikel malah nyengir kuda.

Tanaya menoyor kening Mikel, kesal. "Aah ... Jangan becanda deh lo!"

Tak ada lagi rasa takut dalam diri Adieb. Pikirannya sudah tertuju pada lelaki yang menuduh Azkal. Ia ingin melabraknya tanpa melihat derajat sosok yang akan dihadapinya itu.

Adieb menyambangi kamar 23 Makkah, yang siang itu suasana komplek dan tiap kamar tampak lengang, para santri sedang santai-santainya beristirahat siang.

"Mana, Kang Farid!" teriak Adieb tak kenal malu, sesaat kakinya baru masuk ke kamar yang dituju.

Santri-santri kamar itu saling berpandangan, heran, tapi ada pula yang menatap tak suka. Adieb berteriak lagi ketika tatapannya tak menemukan keberadaan Farid. "Mana? Aku tanya mana Kang Farid?"

Usai berteriak kedua kali, sebuah suara menyahut terdengar di belakang punggung Adieb.

"Aku di sini." Suara itu berseru tenang tanpa ada nada kekhawatiran terhadap sebuah perkara yang akan terjadi siang ini juga.

Sejurus Adieb berbalik badan. Pandangannya menubruk pada sosok lelaki berpakaian rapih, dengan sorban melilit di lehernya. Ya, lelaki menyebalkan itu yang ia cari, Farid.

Adieb semakin murka, dalam situasi seperti ini lelaki itu masih sempat-sempatnya tersenyum culas seraya melipat kedua lengannya di depan dada. Ditambah lagi muka songongnya itu menenggak jelas, pertanda bahwa dia tak gentar diajak duel.

Dalam hitungan sepersekian detik, Adieb langsung menarik kerah baju Farid dan mendorongnya ke dinding. Sontak para santri di sekitar itu terkejut. Mereka mulai berkerumun, harap-harap cemas jika aksi adu jotos akan mereka saksikan di depan mata.

"Sampean gawe dusta kan, Kang? Sampean nuduh Azkal mencuri kan? Jawab! Jawab sing jujur! Aja ghoro! Aja gawe fitnah, Kang! (kamu melakukan dusta kan. Kang? Kamu menuduh Azkal mencuri kan? Jawab! Jawab yang jujur! Jangan berbohong! Jangan membuat fitnah, Kang!)." Adieb berteriak keras meluapkan segala amarahnya. Jika berada di lapangan luas, mungkin ia sudah menghabisi Farid babak belur.

Farid membuang muka. Ia berdecak, terdengar meremehkan. Pembawaannya masih kalem seperti tak tersulut amarah sedikit pun. "Kamu masih yakin koncomu itu nggak mencuri? Ha?" Kali ini nada bicara Farid naik satu oktaf dengan bola mata melotot tajam. "Ira weruh beli faktane, ha? (kamu tahu nggak faktanya, ha?)"

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now