Bab 45 Sidang

217 23 0
                                    

Seorang lelaki berwajah kusut masai tampak terduduk kaku, memeluk kedua lututnya di pojokan kamar mandi sebelah selatan. Temaram lampu yang agak meremang masih mampu memperlihatkan pakaian lusuh serta tubuh bergetarnya. Raut wajahnya penuh ketakutan, seakan-akan matanya bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata yang amat menyeramkan.

Ah, tidak, bukan semacam jin atau syetan. Melainkan kehidupannya sendiri. Jika ia memilih bertanggungjawab atas apa yang diperbuat, maka peristirahatan terakhir ialah tiang gantungan itu. Namun jika ia kabur begitu saja, tak peduli terhadap orang lain yang menjadi korban keganasan tangan-tangan algojo mematikan itu. Hidupnya ke depan akan bagaimana? Ok, baiklah, ia akan selamat. Tapi ia yakin, ia akan dihantui setiap saat oleh jiwa-jiwa gentayangan itu sampai ia menghembuskan napas terakhir. Lantas, mana yang lebih menyedihkan?

Tangis laki-laki itu pecah. Buliran hangat keluar membasahi wajah yang beberapa hari ini bermuram durja. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, tidak mau sampai orang lain mendengar isak tangisnya.

Tapi semakin ia tahan, bayang-bayang menyedihkan berkelebatan jelas di pelupuk matanya. Ah, ia harus bagaimana sekarang? Ia harus memilih yang mana? Mau diam sajakah, pura-pura menutup mata? Itu terlalu bejat, naruliahnya sebagai sesama manusia memberontak keras. Kalau ia berani menunjukkan pada dunia wajah aslinya, maka ia harus siap-siap menelan buah simalakama.

Entah pada menit ke berapa, dari sudut hatinya yang paling dalam berbicara setengah berteriak, "Kamu jahat. Kamu memang tak punya hati. Jika kamu masih menganggap dirimu manusia, tunjukkan pada dunia. Bertanggung jawablah! Bukan malah kabur dan membiarkan orang lain merasakan sakitnya hidup, yang seharusnya kamu rasakan. Dasar bodoh! Pecundang!"

Tiba-tiba lelaki itu bangkit, dan berlari tunggang langgang dalam keadaan kusut masai. Tidak, ia tidak mau disebut-sebut sampai seburuk itu. Ia masih punya hati. Ia masih manusia. Maka, apapun resikonya, ia tak peduli. Biarkan semesta mengutuk dirinya di dunia, ketimbang kobaran api neraka menjilat-jilat di akhirat nanti.

***

Para santri yang memadati area kantor pusat dan tangga menuju kantor keamanan, terkesiap, refleks memberi jalan tatkala melihat seorang santri berpakaian lusuh berlari tergesa-gesa ke arah kantor keamanan. Kecamuk pertanyaan menggelayut di kepala mereka, akan kehadiran santri itu seperti muncul pertanda buruk. Wajah-wajah menegang, saling berbisik ialah pemandangan yang kini terlukis di antara mereka.

Di depan pintu keamanan yang tertutup rapat, santri itu meneguk ludah susah payah. Napasnya terengah-engah. Ada ragu yang seketika muncul ke permukaan. Namun sebisa mungkin ia lenyapkan dan tanpa perlu pikir panjang lagi, ia langsung membuka kenop pintu sambil berteriak lantang.

"Hentikan persidangan ini! Buronan yang kalian cari itu ialah saya, Kang. Wallahi, bukan Azkal. Dia hanya difitnah. Sayalah si pencuri itu, yang mencuri uang-uang para santri. Saya menyerah, Kang. Biarkan di dunia ini saya menerima hukuman yang setimpal. Hukumlah saya seberat-beratnya, Kang, sebelum di akhirat nanti hukuman yang lebih menyakitkan saya terima. Sayalah si pencuri itu. Sayalah buronan pencuri yang kalian cari."

Semua orang yang hadir di ruang keamanan itu terkesiap. Kaget bercampur bingung. Kenapa tiba-tiba seorang santri mengaku sebagai si pencuri itu? Bukankah Azkal adalah si pencuri yang Farid tuduh? Drama apa yang tengah mereka buat? Menyinggung soal fitnah lagi.

Azkal sendiri refleks berdiri. Antara percaya atau tidak dengan pemandangan di depannya. Dalam keterkejutannya lirih sekali ia menyebut nama santri berpakaian lusuh itu, "Ka ...kang I ... Iwan?"

Sementara Farid mengepal tangan kanannya keras-keras. Ia murka atas apa yang Iwan lakukan. Tapi sebelum ia mengeluarkan segala amarahnya. Aksi Iwan semakin membuat Farid naik darah.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now