Bab 43 Ditakjir

169 23 11
                                    

Berkali-kali suara sabetan rotan itu terdengar menggelegar, menyeruak ke seluruh penjuru pondok kebon bambu . Menambah hawa ngeri dan mencekam, di menit-menit selepas bubar pengajian isya.

Plak ... Plak ... Plak ...

Sudah tak mampu dihitung oleh jari lagi, pukulan keras rotan itu menghentak betis-betis para santri pelanggar yang berjumlah sembilan orang. Mereka tergugu kaku dengan kepala meunduk dalam. Ada bening air mata di sana, yang merembes keluar. Ada Isak tangis tertahan, yang sulit disembunyikan. Ada pula suara-suara meringis kesakitan.

Bukan, bukan karena sabetan rotan itu yang membuat mereka merasa sakit serasa ditusuk-tusuk sembilu. Melainkan takjiran yang mereka terima, sebab ketahuan melanggar keluar pondok dan malah mangkir di warung sambil merokok, ketika pondok sedang aktif-aktifnya.

Selain itu ada pula yang menyebabkan hati mereka serasa diremas-remas keras. Ialah perkataan-perkataan marah, makian dan cacian yang dilontarkan beberapa pengurus keamanan itu.

"Mau jadi apa kalian-kalian ini, ha? Preman?"

"Sampean-sampean iki ndueni ati beli? Ora mikir gimana kalau orang tua sampean tahu?"

"Dan perbuatan kalian ini secara tidak langsung sudah menzolimi Kyai kita, Ang Anwar."

"Lha, kalau sudah berlaku dzolim. Apa yakin beliau ridho? Apa tetep tenang-tenang saja kalian hidup? Dan dijamin hidup kalian akan berkah kedepannya? Innalilahi. Lha, terus apa gunanya mondok kalau sudah begitu?"

"Ah, apa kalian nggak kuat sama kehidupan beserta peraturan di pondok? Mau cari kebebasan, ha? Iya?"

"Ya wis, baka mengkonon, sih, boyong bae sana! Hidup di hutan sekalian sebebas-bebasnya. Merdeka!"

"Wong pengen dadi bener, kok ngelunjak, ngelanggar segala!"

Dan berbagai omelan lainnya, yang nyaris membuat kedua telinga mereka panas. Meski pintu keamanan tertutup rapat, namun berjubel para santri menyesaki teras, tumpuan tangga, dan pekarangan kantor pusat, yang letak ruang keamanan sendiri berada di atas kantor pusat. Mereka saling berbisik, bercerita, menerka-nerka dan berbagai ekspresi ngeri tatkala suara sabetan rotan serta teriakan marah pengurus keamanan sampai terdengar ke luar.

"Jadi selain nongkrong di warung itu, siangnya kalian juga nonton konser kan? Iya kan?" tanya Kang Abub bernada kalem. Setelah suasana ruangan dirasa hening. Takjiran disabet karena bolos pengajian, solat jamaah dan keluar pondok telah dilakukan. Kini giliran takjiran lainnya berdasarkan peraturan lain yang mereka langgar.

Ditanya oleh ketua keamanan berwajah garang itu, kesembilan santri pelanggar tak mampu berkutik. Mengucap satu kata pun lidah terasa kelu. Bahkan bagi santri si dewa pelanggar sekalipun, Bakrie namanya yang rambutnya acak-acakan saking seringnya digunduli. Ia diam seribu bahasa. Entah kenapa hawa kali ini terasa amat berbeda dari biasanya mereka ketahuan melanggar. Mereka jadi berpikir dua kali mungkinkah Ang Anwar sudah tahu dan beliau tidak meridhoi tiap langkah mereka? Hingga timbul perasaan resah tak keruan di hati.

Kali ini Kang Abub sedikit berkeliling di depan santri-santri itu. Mendelik tajam ke setiap wajah-wajah berekspresi ketakutan.

"Oh, ya. Di warung itu kan ada warnetnya juga. Kalian sekalian ngewarnet nggak? Sayang loh, kalo nggak sekalian Facebookan, Googlingan. Iya, nggak, Mad?" tanyanya tepat di depan wajah Ahmad.

Si Ahmad malah membalas, "Iya, Kang. Sekalian ngewarnet. Ups ...," ceplos Ahmad tak sadar. Ia langsung menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Mendengar Ahmad keceplosan, beberapa temannya semakin menunduk dalam dan memejamkan mata rapat-rapat, seperti berbicara, "sial! Kenapa dia pakai keceplosan segala?"

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now