Bab 12 Mondok

417 41 7
                                    

Sekitar pukul dua siang, rombongam dari Bandung itu sampai di tempat tujuan, Pondok Pesantren Kebon Bambu. Dua mobil Avanza berwarna hitam dan putih memarkir –berjejer dengan beberapa mobil lainnya di lapangan luar pondok. Cukup luas lapangan tersebut sampai menampung beberapa motor lainnya, belum lagi dengan lapangan satunya di sebelah Utara.

Rombongan Azkal keluar dari mobil. Tak lupa barang-barang pun mereka keluarkan semua. Ketiga belas orang itu berdiri mematung, menatap pemandangan di sekeliling mereka. Jika dilihat dari mulai jalan masuk ke pondok pesantren. Pondokan itu masuk ke sebuah gang cukup besar, lurus sedikit dengan pemandangan sekeliling berupa pepohonan jati yang meranggas akibat musim kemarau. Kemudian masuk lagi ke gang sebelah kanan. Dari awal masuk, akan terlihat sebuah gapura lumayan tinggi dan besar yang terlihat mengecil berada di ujung gang tersebut. Adapun disekelilingnya menuju gapura itu, pemandangan yang ada ialah dua lapangan seukuran lapangan voli di sebelah Utara dan Selatan, serta di sekeliling lebih jauhnya lagi ialah pepohonan jati dan lainnya yang terlihat kokoh menjulang tinggi, namun daunnya banyak berguguran. Jadi pondokan Kebon Bambu itu sepeti terletak di tengah-tengah hutan. Entah hutan apa sejauh mata memandang. Dan kala musim penghujan, mungkin akan lebih sejuk dan segar dengan bermekaran dan berseminya pepohonan itu.

"Oh ini pondoknya. Hmm... Tapi kok nggak sesuai namanya ya. Kebanyakan pohon jati deeh, bukan pohon bambu," celetuk Niswah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung atas apa yang dilihatnya.

Wa Mala yang berdiri dekatnya menyahut, "Ya itu kan sekarang, Nis. Mungkin sejarahnya pas dulu semua di sekeliling kita, ya, pepohonan bambu, hutan bambu. Lalu disulap jadi pondokan kayak gini."

Niswah mangangguk paham atas sedikit penjelasan perempuan bertubuh agak gempal itu. Kemudian Abah mengomando. Meminta Mas Ridwan menggelar tikar di bawah pohon cukup rindang dan masih banyak daunnya. Sementara ia, Bunda, Mas Ahmad dan Azkal bergegas ke rumah Kyai, untuk sowan. Prosedur ketika mau mondok masih sama seperti dulu, yakni sowan atau berkunjung terlebih dahulu ke rumah Pak Kyai, mendaftar di kantor pusat dan terakhir berkeliling ke tiap jengkal pondok serta ke kamar yang telah ditentukan.

Saat berjalan menuju rumah Kyai Anwar yang terletak di samping gerbang sekaligus berada di depan masjid utama pondok. Azkal memperhatikan beberapa santri yang tengah menyapu dedaunan yang berserakan. Lantas saat rombongannya hendak melewati mereka. Para santri itu seperti kumpulan kepiting, malu-malu, menunduk dalam sambil menepi ke pinggiran, lalu diam.

Kening Azkal mengerut, dalam hati ia bergumam "Adat macam apa ini? Kok kayak lagi penyambutan orang yang dihormati aja."

Bunda seperti paham akan ekspresi anak laki-lakinya itu, ia merangkul pundak Azkal, "Abang kaget ya, lihat mereka kok kayak gitu sama kita-kita sebagai tamu?"

Azkal mengangguk, "Iya, kayak menyambut presiden aja. Hehe, lucu,"Azkal terkekeh.

"Hei, lucu dari mana. Hebat namanya, berarti akhlak mereka benar-benar luar biasa. Heum ... Selain perlakuan seperti mereka tadi. Masih banyak lagi, Bang, beraneka ragam kehidupan santri-santri itu, yang bakal membuat Abang kaget!"

"Yeah, it's ok. Semoga aja nggak sampe pingsan atau kesurupan lihatnya. Hehe."

"Ih, ngaco. Nggak sampe segitunya juga lah."

Kehidupan santri di Pondok Pesantren Kebon Bambu siang itu tampak normal dan ramai saat kaki melangkah, melewati gerbang utama. Di sebelah Utara sebuah masjid cukup besar berdiri kokoh, di dalamnya terlihat santri-santri tengah mengaji, sementara di pendopo yang bersebelahan dengan bagasi mobil para santri lawas baru saja bubar pengajian. Dan para santri lainnya tampak melakukan aktifitas masing-masing, tentu dengan berpakaian sarung dan peci. Azkal memperhatikan baik-baik gerak-gerik mereka, seperti tengah memahami sesuatu hal penting dalam hidupnya.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now