Bab 18 Pagi Menyebalkan

353 36 13
                                    

"Argghh ... Berisiiikkk ...," teriak Azkal, sambil menutup kedua telinganya. Bola matanya masih terpejam.

Suara tabuhan, layaknya aksi grup IMB Klanting, menyeruak ke setiap penjuru masjid lantai bawah. Suara tabuhan itu berasal dari anggota kamar yang kebagian piket jaga malam dan yang di tabuh berupa; dua buah galon berukuran besar, dua buah ember, satu lembar seng tipis dan berbagai peralatan masak lainnya. Yang semuanya membentuk formasi acak-acakan, namun mengikuti alunan suara cempreng beberapa santri, menyanyikan lagu bertajuk Lagi Syantik, sambil berjoget-joget tak keruan.

Sementara anggota kamar yang tidak kebagian seru-seruan, bertugas membangunkan para santri yang masih bergulat dengan kantuknya. Sesekali membuat usil dengan menyemprot wajah kantuk mereka lewat semprotan bekas penyemprot kaca, menarik kaki mereka sampai mengadu kesal lalu bersembunyi atau menyabet-nyabet tubuh mereka pakai sebilah bambu –pura-pura jadi pengurus keamanan. Semua itu dilakukan sampai delapan puluh persen santri pada bangun dan meninggalkan ruangan. Selebihnya mereka biarkan pengurus keamanan atau Ang Anwar yang mengurus.

Azkal duduk. Menyenderkan punggunga ke dinding masjid. Ia tampak terkantuk-kantuk dengan mata terpejam. Saat ada yang membangunkannya ia akan berseru keras.

"Apaan sih lo? Ganggu orang tidur aja. Gue masih ngantuk tahu. Pergi sana!"

Azkal kembali rebahan dan menggelung tubuhnya dengan selimut, serta telapak tangannya menutup kedua telinga rapat-rapat. Ia tak peduli siapa saja yang mencoba membangunkannya. Ia benar-benar ngantuk berat. Durasi tidurnya malam ini jauh sekali melewati batas normal biasanya. Dan kini, jiwanya masih melayang-layang entah kemana. Ya, sampai berakhirnya aksi gila-gilaan para santri yang kebagian piket jaga itu.

Hingga seketika, Azkal merasa wajahnya seperti terkena cipratan air berkali-kali. Ia bangkit dan duduk, masih belum sadar. Telapak tangannya melayang mencoba menghalagi cipratan air ke wajahnya.

Azkal mendecak sebal. "Apaan lagi ini? Arrgg ... Basah tahu!" keluhnya kesal.

"Hei, bangun, bangun! Kang, bangun, Kang!" seru sosok lelaki bersuara khas itu. Pakaiannya terlihat rapih sekali, bersarung kotak-kotak, koko putih membalut tubuh tegapnya dan kepalanya tertutupi rapi oleh peci hitam setinggi sembilan centi. Dari jauh saja sudah terlihat, seperti ada cahaya memacar dari wajahnya teduhnya, tatapan tajam namun menenangkannya serta senyuman manis yang terlukis di wajah, tampak merekah melihat ulah santrinya yang terkantuk-kantuk.

Mendengar suara khas itu, syaraf-syaraf dalam tubuh Azkal tiba-tiba menegang seketika. Matanya terbelalak sempurna.

"A ... Aang?" lirih Azkal hampir tak terdengar.

"Hoho ... Mati gue! Mampuus!" jerit Azkal dalam hati.

"Aduh, maaf, Ang. Maaf."

Dengan menahan malu luar biasa. Melihat Ang Anwar tampak tersenyum menatapnya. Azkal segera lari terbirit-birit, membawa selimut dan bantalnya ke luar masjid. Beberapa santri pun, di belakangnya tak jauh berbeda mengalami nasib yang sama.

"Dasar, Adieb. Jahat! Dia ninggalin gue gitu aja. Awas aja kalau nanti ketemu ya," dengus Azkal kesal di tengah-tengah larinya.

Langkah lari Azkal terhenti di depan komplek Makkah. Ia bingung hendak kemana. Beberapa santri ada yang langsung pergi ke kompleknya masing-masing, ada juga yang mampir dulu ke toilet atau kamar mandi.

Azkal memilih pergi ke kamar sebentar. Mau menyimpan bantal dan selimutnya. Lantas ia bergegas ke toilet, sebab mendadak perutnya terasa mulas. Untungnya pengajian qobliyahan belum dimulai. Para pengurus pun masih tampak berkeliling kesana-kemari, menggobreg para santri. Ya, masih ada waktu, yakin Azkal.

Malaikat Bermata Hazel (complete)Where stories live. Discover now