Epilog

303 23 16
                                    

Tahun ajaran baru.

Para santri Pondok Kebon Bambu putra maupun putri berbondong-bondong kembali ke pondok. Usai menikmati liburan hari raya idul fitri, nyari dua minggu lebih lamanya. Kini mereka harus kembali ke sangkarnya lagi, melakukan rutinitas sebagai seorang santriwan-santriwati.

Setelah berpamitan dengan keluarganya dan sowan ke Almukarom sebagai laporan kedatangan, dengan menampakkan wajah cerah Azkal bergegas ingin menemui teman-temannya., khususnya keempat temannya itu –geng receh. Ia rindu berat, sungguh. Tak cukup hanya lewat video call bercengkrama seru semasa liburan kemarin. Harus ditunaikan melalui pertemuan secara nyata.

Azkal berhenti melangkah. Ia menatap ke sekeliling suasana pondok yang mulai ramai di padati insan-insan penuntut ilmu. Ah, ia rindu ini pula, suasana pondoknya, aroma keharuman tiap jengkal, suara-suara santri mengaji, lantunan nadzoman, bising suara santri membacakan dzikir dan hidzib serta segala hal yang berbau rutinitas agamis khas kaum sarungan.

Tak mau menunggu lama lagi lelaki bermata hazel itu kembali meneruskan langkahnya ke kamar 23 Makkah, menaruh tas, bercengkrama sebentar dengan penghuni kamar lain, lantas mencari-cari keberadaan Adieb, Tanaya dan Mikel yang masih satu komplek dengannya.

"Adieeeeeb ...," panggil Azkal sesaat baru saja mengunjungi kamar temannya itu.

Seorang santri menjawab menggelengkan kepala ketika Azkal tanyai keberadaannya, "Nggak tahu, Kang, belum datang. Ngaret kali."

Awalnya Azkal memaklumi, pasti Adieb telat dating, walau konsekuensinya harus bayar denda kalau tidak menghubungi pihak pengurus keamanan. Tapi mendadak Azkal ragu, ia merasa ada keganjalan. Terutama ketika ia mendatangi kamar Tanaya dan Mikel. Sama, kedua temannya itu tidak ada di kamar. Seluruh penghuni kamarnya pun tidak ada yang tahu.

Keganjalan itu kian meregang cemas di wajah tatkala Azkal bertanya ke pengurus keamanan. Mereka pun sama-sama menggelengkan kepala. Tidak tahu, mungkin telat.

"Nggak mungkin. Masa mereka kompakan telatnya. Emang ada acara apa coba? Perasaan pas video call terakhir nggak ada kabar-kabar mereka bakal ngaret," batin Azkal bertanya-tanya heran.

Tepat dalam kubangan kebingungan itu Azkal melihat kedatangan Ilham. Ia langsung menuju ke sana.

"Ilham, Adieb, Tanaya sama Mikel ke mana, sih?" tanyanya sesampainya di hadapan Ilham.

Lelaki pemilik irit kuota bicara itu tidak menjawab. Ia tampak ragu, meremas-meremas kepalan tangannya, gusar.

"Kamu kenapa, sih, Ham?" heran Azkal melihat gelagat tak beres.

Ilham menggeleng, "Nggak."

Kemudian ia menyerahkan secarik kertas dengan tangan bergetar. Azkal menerima dan membukanya dengan cepat.

Glek.

Azkal menelan ludahnya susah payah. Jakunnya naik turun seiring perasaan sedih menyebar ke seluruh inci tubuhnya tatkala membaca isi surat beratasnamakan Mikel.

"Aku menemukannya di lemari, Kal," ucap Ilham.

Azkal menggeleng, "Nggak. Nggak mungkin."

Sebelum kedua bola matanya menghangat, Azkal berlari menuju kamarnya. Membuka lemarinya, ia pun menemukan dua buah surat dari Tanaya dan Mikel. Satu tetes air matanya jatuh. Ada perasaan kehilangan sekaligus kesal yang muncul seketika.

"Kenapa mereka nggak bilang dari awal coba, Ham. Seharusnya mereka pamit atau bilang apa gitu supaya kita di sini nggak kaget. Ini mendadak sekali, Ham," keluh Azkal, beberapa kali ia mengusap wajahnya kasar-kasar.

"Mereka punya alasan kali, Kal. Atau mungkin nggak sempat," simpul Ilham berpikir positif.

"Ya, tapi kan ...." Azkal menggantungkan ucapannya. Ia memekik frustasi, "arrrghhh ...." satu bogem ia pukul mengenai lemarinya, membuat beberapa santri di kamar menatap keheranan.

Episode selanjutnya geng receh itu bisa ditebak, napas-napas kehilangan yang kini menjebak relung hati kedua santri itu. Hanya tersisa Azkal dan Ilham saja yang masih bertahan di pondok. Sementara ketiga sahabatnya yang lain memberikan keputusan final, memilih boyong dengan alasan masing-masing.

Entah, kenapa ketiga temannnya itu kompakan memberitahukan mereka hanya lewat secarik surat. Bukan dengan pembicaraan baik-baik. Supaya bisa saling mendoakan dan mengulum perasaan tenang, bukan? Hal ini yang membuat Azkal dan Ilham merasa kesal sekaligus kehilangan tentunya.

Tapi mau bagaimana lagi? Sekarang mungkin mereka sudah sibuk menjalankan rutinitas barunya masing-masing. Walaupun kecewa sangat, seorang sahabat tidak akan lepas mendoakan yang terbaik untuk kawan-kawannya.

Maka pagi itu selepas pengajian subuh Azkal dan Ilham menaiki roof top komplek Makkah. Sejauh mata memandang ke arah perbukitan gunung kapur sebelah selatan sana, mencium aroma pagi menjelang serta kicauan burung-burung berkelebat di langit lepas berwarna biru cerah itu.

Secarik kertas dari ketiga sahabatnya itu berbicara begini;

Terimakasih kawan-kawanku atas segala kebersamaan selama tiga tahun ini mencari ilmu di pondok. Maaf, aku memutuskan pergi lebih awal. Karena suatu hal, ya, aku harus menghidupi adik-adikku. Maka aku memilih ikut bekerja dengan paman di Jogjakarta sekaligus kuliah tentunya. –by: Adieb

Thanks banget, guys. Lo-lo semua udah ngewarnai hidup gue selama nyantri. Maaf kalo gue banyak salah, ya, terutama sama lo Azkal. Hehe. Sorry, ya, gue harus boyong. Sebenarnya diam-diam gue ngajuin beasiswa di UK dan Alhamdulillah keterima. Anyway, gue mau ngambil jurusan kedokteran. Seperti yang pernah gue bilang,gue ingin jadi dokter dan ngalahin bokap gue. Hehe. –by: Tanaya.

Oy ... Oy ... Turunan ke seratus Klan Konoha mau lewat. Hehe. Arigato bingit, yi, kiwin-kiwin. Gue boyong duluan. Huhu. Pasti klean bakalan rindu gue. Tenang-tenang, Mikel bakalan kasih jurus andalan dari jauh demi menuntaskan rindu klean para fans. Btw, gue mau ke Singapore, ngejalanin kemoterapi sekaligus kuliah di sana. Hehe. Kaget, ya. Semoga iya. –by: Mikel

Dan di tiap akhir surat mereka menuliskan penggalan kalimat yang sama. Seperti sudah merencanakan jauh-jauh hari.

Mari kita wujudkan mimpi-mimpi yang pernah kita langitkan kepada semesta. Selalu berdoa, ikhtiar dan tawakal. Berharap Allah merajut benang takdir baik, lalu mempertemukan kita di tangga kesuksesan bersama, Kawan. Amin.

Azkal dan Ilham membacanya sekali lagi penuh haru. Kini perasaan yang muncul ialah bahagia dan semangat. Walau hanya lewat surat, tapi keduanya seakan mendengar secara nyata perkataan ketiga temannya itu. Timbullah perasaan yakin di dada bahwa suatu saat Allah akan merencanakan dan mempertemukan mereka kembali di atas singgasana kesuksesan.

Tiga buah lipatan kertas berbentuk burung berisi tulisan mimpi-mimpi ketiga temannya, Azkal dan Ilham terbangkan ke udara. Sebuah isyarat keyakinan mereka yang pernah dilakukan dulu, bahwa dengan cara itu semesta beserta makhluk-makhluk Allah lainnya akan menengok, lalu ikut mendoakan hingga suatu saat mimpi-mimpi mereka benar-benar akan terwujud. Tidak ada yang tidak mungkin, karena Allah yang memegang kendali takdir.

Allahumma amiin.

***

Malaikat Bermata Hazel (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang