Bab 41 Melanggar

199 21 5
                                    

Kedua santri itu berlari terseok-seok menembus jejeran pepohonan jati dan bambu. Rasa sakit di beberapa tubuhnya masih terasa akibat terjatuh dari atas pagar pondok yang cukup tinggi.

Napas keduanya ngos-ngosan layaknya tengah dikejar-kejar harimau. Saat berlari cukup jauh dan merasa aman dari kejaran sang ketua tingkatan. Mereka berhenti, dengan sesekali menengok ke belakang, memastikan bahwa mereka tak dibuntuti.

"Kamu sih, Han, berisik mulu. Jadi ketahuan," omel Azman seraya mengatur napasnya yang terengah-engah.

Sebelah bibir Raihan terangkat, "Kok aku, sih? Lha, ini gara-gara sampean, Man. Kata aku juga agak siangan aja kita kaburnya. Ya, jadinya kayak gini. Nggak ngandeul kamu tuh, ih," belanya tak terima disalahkan. Ia berjongkok dan mengelap keningnya yang berkeringat menggunakan sorbannya.

"Kenapa juga, sih, harus ketahuan sama si bocah menyebalkan itu. Bikin resek aja tuh anak." Azman melirik sekali lagi, ke sana-kemari. Kalau-kalau Azkal menemukan jejak keduanya.

"Ya, embuh, ya."

Raihan masih menampakkan wajah kesal. Ini memang rencana teman se-cs-nya ini. Awalnya Raihan mengelak, terlalu dini sekali jika keluar pondok di jam-jam sekarang, demi menyaksikan acara konser Noah di Majalengka Kota. Sebab acaranya dimulai siang hari. Mending sekolah dulu. Tidak harus pakai bolos segala kan. Lagipula beberapa teman sekomplotannya, yang suka ikut melanggar keluar pondok, mereka berencana kabur pas menjelang siang. Tapi lelaki agak berkumis tipis itu keukeuh, katanya mau sekalian jalan-jalan dulu paginya, sejenis shopping gitu mumpung baru bestel. Mau tidak mau, ya, terpaksa Raihan manut-manut saja.

"Sekarang kita langsung ke mana?" tanya Raihan bingung.

"Ke sungai dulu, aku mau mandi. Habis itu kita sarapan dan langsung cus ke pasar." Azman menginstruksi. Ia memang yang paling diutamakan di antara komplotan santri-santri pelanggar, khususnya dari kubu santri tingkat satu.

"Lha, mosok belum mandi. Pantes tadi tuh kayak ada bau-bau yang nggak sedap gitu, nempel-nempel ke aku," ledek Raihan mendelik jijik pada Azman.

Yang ditatapi menunjukkan kepalan tangannya, "Apa kamu ngeledek? Wong podo wae ora sok adus gah! Huh, blagu!"

Satu menit beristirahat sejenak, lamat-lamat Azman dan Raihan mendengar teriakan seseorang, kalau bukan si ketua tingkatan itu, ya, siapa lagi?

"Azmaaaan ... Raihaaaaan ...."

Gigi-gigi Azman gemeretak menahan kesal. Ia menarik dan membuang dedaunan di sekitarnya dengan amat mengkeul.

Azman mendecak sebal, lalu mengumpat, "Argh ... Sial!"

Lelaki itu memberi kode pada temannya. Raihan mengangguk, paham. Lantas tiga detik berikutnya kedua santri itu sudah menghilang begitu saja, bersembunyi di semak-semak hutan jati dan jejeran pohon bambu.

***

"Hhhhhhh ... Kemana tuh anak? Lewat ke mana mereka?" gumam Azkal celingak-celinguk tak tentu arah, dengan deru napas ngos-ngosan.

Ternyata berlari di antara rerumputan dan gundukan daun-daun kering amat menyulitkan. Apalagi kondisi lelaki itu masih memakai sarung dan kemeja panjang kotak-kotak. Ribet. Belum lagi berbagai ranting pohon bambu menghalangi tiap jengkal jalan.

Azkal berpikir, ini kah cara santri pelanggar kabur dari pondok? Lewat kebon? Lha, wong pagi-pagi begini saja yang ada cahaya matahari ia merasa kesusahan. Gimana kalau malam hari? Pasti gelap gulita. Dan gimana kalau tiba-tiba ketemu sejenis hantu Nusantara? Ih ... Pasti seram. Azkal bergidik ngeri. Ia jadi salah fokus, tambah bingung dengan jejak pelarian kedua teman setingkatannya itu. Lewat mana mereka berlari? Pun mau ke mana coba?

Malaikat Bermata Hazel (complete)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora