4

188 26 0
                                    

Semalem, Tante Arum bilang kalo tamu yang dateng itu adalah calon keluarga. Well, mereka mau mengangkat gue sebagai putri mereka karena mereka cuman punya satu orang putra.

Gue itu nggak lagi hidup di panti asuhan ya, yang artinya bisa di pindah keluargakan. Gue itu hidup bersama keluarga besar, meski nggak sama orang tua.

Bener, udah seratus delapan puluh tiga hari mereka ninggalin gue. Membuat gue pindah ke rumah mbah yang sekarang resmi jadi milik orang tua Renjun sebelum tiga bulan lalu beliau juga meninggalkan gue.

Rumah gue? Dijual. Katanya buat biaya kuliah gue aja, sementara sehari-hari gue bisa ngikut Tante Arum. Adik dari mamah.

Hal yang membuat gue betah dirumah itu, dulunya ada Mbah, orang yang membuat gue nyaman karena dekat banget, gue cucu cewek satu-satunya dari keturunan aslinya. Tapi setelah itu, gue mulai nggak merasa nyaman lagi. Karena sekarang gue cuman tinggal bersama orang tua Renjun.

Gue merasa makin jadi anak buangan saat harus di pindahkan sana sini. Walaupun sebenarnya Tante Arum dan Om Galih baik, banget malah. Tapi justru kebaikan mereka yang semakin memberatkan gue, dulu waktu ada mama dan papah gue dengan leluasa main dan melakukan apapun di rumah ini sekalipun gue mengambil barang Renjun.

Dulu gue selalu berpikir semuanya mudah karena gue punya wali. Yeah, orang tua gue akan bertanggung jawab dan membiayai apa yang kurang. Gue ngambil kaos kaki Renjun, setelah bilang ke mama, besoknya Renjun udah digantiin kaos kaki baru.

Tapi sekarang, walaupun gue ngambil cuman roti, ada sebuah perasaan tentang keharusan izin. Gue takut nggak diizinin dan Renjun minta dibalikin barang yang gue ambil sementara gue nggak tau bisa balikin lagi atau enggak.

Tante Arum sama Om Galih selalu bilang, "Ambil aja yang kamu mau. Ini rumah kamu juga. Kalo mau minta apa-apa tinggal bilang."

Semuanya nggak semudah itu. Gue kalo mau minta uang jajan tambahan rasanya nggak enak. Gue kalo minta uang buat beli barang yang gue pengen rasanya nggak punya harga diri karena udah numpang tapi minta lebih. Dan gue kalo pergi mau main selalu pinjem uang Jaehyun, walaupun ngembaliinnya nyicil.

Semuanya makin terasa sulit setiap kali gue menahan perasaan. Dipindah keluarga juga  itu berat. Tapi mungkin ini salah satu pilihan terbaik buat nggak merepotkan keluarga Renjun. Banyaknya kebaikan mereka kadang bikin gue merasa takut nggak bisa balas budi.

"Lo kenapa sih?"

Haechan menatap gue di koridor yang sepi.

"Renjun nggak pulang? Jaehyun?"

"Taulah, dia Osis. Jaehyun katanya mau ngelatih basket dulu. Yuk balik sama gue, atau mau jalan kaki sendiri?"

Jaehyun, udah kelas tiga padahal. Tuh anak kapan tobat sih? Nggak bisa ya pola hidupnya dirubah selain game sama basket atau hal-hal yang cuman menyenangkan aja buat dia.

"Naik motor aja lima belas menit, dan lo nyuruh gue pulang jalan kaki, sampe rumah berapa jam?"

"Yaudah, makanya buruan. Eh mau mampir nggak?"

"Ke mana?"

"Mie Naga yuk. Ada wifi gratisnya."

Gue mengangguk semangat. Selama gue sama Haechan, cowok itu banyak memberi pengetahuan tentang bagaimana caranya berhemat.

Contoh, saat gue butuh kuota buat download drama. Dia menunjukkan warung dengan wifi gratis. Well, kita makan satu porsi berdua dengan minumnya yang paling murah, anggap aja itu air tanpa rasa. Yang intinya, biaya makan dibagi dua sama Haechan tapi drama gue udah ter-download full.

[not] CinderellaWhere stories live. Discover now