64

104 16 0
                                    

Aduh.

Dalam hati gue ketakutan, gimana kalo keramik kelasnya tadi rusak? Mana tadi banyak saksi lagi. Kalo iya, gue cari duit dimana? Minjem Taeyong? Ntar gue ketauan kalo bermasalah di sekolah. Mana sekarang udah kelas tiga.

Ya Allah, padahal selama bertahun-tahun gue sekolah tuh nggak pernah bikin masalah. Ini loh, tinggal tahun akhir doang malah begini.

Gue menggigit bibir, memandangi sepatu sambil berjalan menuju kantin. Udahlah, nggak tau lagi harus apa di sekolah ini.

Mati aja gue!

Pikiran gue makin kalut, takut kalo Jaehyun juga akan berubah karena punya pacar, Renjun yang nanti akan lebih menghargai perasaan pacarnya daripada gue. Semua orang akan punya pasangan masing-masing.

Taeyong, kalo dia nikah nggak bakal ngantar jemput gue. Pada akhirnya semua orang bakal ninggalin gue karena kehidupan mereka masing-masing.

Gue nggak boleh nangis. MALU. Ini kan di tempat ramai. Meskipun gue berpikir begitu, ternyata orang lain enggak. Deya, datang entah dari mana langsung menjambak rambut gue.

Wajahnya terlihat kusut juga, nggak jauh beda sama gue. "Iya. Gue yang ngerebut posisi lo. Terus kenapa? Gue mau banggain orang tua gue yang bisa bikin gue begini."

Gue ketawa dalam hati. Karena orang tua aja dia bangga. Terus, dia secara nggak langsung mau bilang orang tua gue udah nggak bisa ngelakuin apapun buat gue?

Orang-orang mulai berkumpul, dan pikiran gue tentang pertarungan ini nggak boleh menyerah. Masa sama cewek begini aja gue kalah. Nggak boleh dibiarin!

Tangan kanan gue menarik lengannya, mencoba meraih segenggam rambut pendek Deya juga. Gue udah diluar kendali, nggak peduli sama apapun.

Tarikan rambut yang makin menguat membuat kaki gue bertindak, menendang betisnya hingga cewek itu tersungkur.

Gue berdiri tegak, merapikan rambut dan melipat tangan depan dada. Melihat Deya yang masih duduk di lantai berantakan. Matanya menatap tajam menusuk, "apa? Lo mau apa? Mau minta orang tua lo sponsorin sekolah juga biar bisa bela lo hah?"

Kaki gue hampir melangkah pergi sebelum Deya menarik rok gue kuat. Paha gue sampe terekspos, jelas gue nggak terima. Membalikkan badan dan menoyor kepalanya kuat.

"Lo kasih mbak Desi uang berapa sampe gusur gue? Harusnya lo belajar dulu artinya berjuang, bukannya malah pake jasa-"

"Gara-gara lo gue sama Haechan putus!" Teriaknya frustasi.

"Heh. Ngaca! Gara-gara lo juga gue sama Haechan hampir retak persudaraannya."

"Ya itu salah lo!"

"Gue? Salah gue?"

Deya berdiri, sementara gue hanya menatap dia merendahkan. "Iya. Lo salah. Lo nggak berguna. Lo cuman duri di hidup orang!"

BANGSAT!

Pak Johny datang, melihat gue dan Deya bergantian dengan mata yang masih saling menatap, di tambah nafas yang memburu kerena amarah masing-masing.

"Ikut ke kantor saya!"

[not] CinderellaWhere stories live. Discover now