65

124 16 2
                                    

"Masalah kamu apa?" Tanya Taeyong waktu gue menutup pintu mobil sembari menaruh pantat di kursi samping kemudi.

Tadi habis masuk BK, gue kena peringatan pertama begitu juga dengan Deya. Dan karena Pak Johny yang liat, dia jadi sekalian manggil Taeyong.

Gue menggigit bibir kuat, menahan tangis. Ini kalo gue suatu saat bener-bener di tinggal gimana? Siapa orang yang bakal lindungin gue? Menghibur gue? Nemenin gue? Dan siapa yang bakal sayang sama gue.

Karena mendungnya hati yang makin menghitam, mata pun udah nggak mampu membendung air, gue memalingkan wajah, mengusap pelan pipi yang udah basah.

"Tadi Johny bilang kamu bertengkar sama temen kamu. Kamu kenapa sih? Udah punya KTP juga masa-"

"Kenapa Mamah sama Papah udah jadi almarhum?"

Pertanyaan itu sukses membuat Taeyong bungkam. Cowok itu menatap gue sebentar lalu tersenyum. "Itu yang terbaik."

Gue mengernyit, agaknya merasa tersinggung sama ucapannya. Dia ngerasa bahagia gue nggak punya orang tua?

"Semua orang pasti bakal pergi. Entah kemana pun. Dan mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Mereka nggak ada, mungkin Tuhan mau kasih hal spesial sama kamu."

"Spesial apa? Apa yang spesial dari hidup seorang yatim piatu?"

"Banyak. Kalo mereka masih, kamu belum tentu bisa menghargai dengan baik rasanya menyayangi dan disayangi. Kalo mereka masih, kamu belum tentu bisa dewasa lebih cepet, memahami orang lain, mengalah untuk orang lain-"

Laki-laki dengan bibir tipis itu menjeda sebelum kembali berucap, "Lagi, kalo mereka masih, kamu belum tentu mengerti rasanya berjuang dan berusaha keras. Semua itu, jangan kamu sesali lagi. Jangan kamu pertanyakan kenapa, tapi coba cerna kenapa itu terjadi."

Gue mendengarkan dengan seksama, menatap matanya yang kalo ini tak terlihat berapi, Taeyong yang ini kelihatan tulus.

"Yatim piatu? Mereka nggak hidup sama orang tua mereka, tapi bukan berarti manusia di dunia ini nggak ada yang sayang sama mereka."

Kata-katanya yang dewasa membuat gue tenang, tapi dengan air mata yang ingin mengalir terus, terharu.

"Jadi, cerita sama saya kenapa bisa begini?"

Dengan semua kalimatnya barusan membuat gue mulai merasa nyaman buat terbuka, ingin memberi tahu banyak yang tadi gue alami.

"Mas tau nggak? Saya berjuang buat ikut kompetisi. Kaki saya kesleo, nilai saya turun, badan saya lelah. Tapi ada orang lain yang ngambil posisi saya dengan gampangnya."

"Nilai kamu turun?" Alis Taeyong menukik dengan tatapan tajam curiganya.

Salah curhat gue tadi.

"Kok bisa turun sih?"

Gue geram, bisa-bisanya ada orang yang berubah dalam waktu singkat. Perasaan, tadi dia perhatian, baik juga, udah jadi tipe ideal seorang kakak, tapi ini-

"Udah lah! Saya begini juga kamu nggak peduli. Yang kamu perhatiin cuman nilai, biar saya nggak malu-maluin keluarga kamu!"

Begonya sampe gue terlena dengan semua ucapan manis yang nyatanya ada di otak dia nggak ada ketulusan sama sekali.

"Loh? Kalo saya nggak perhatian, siapa yang dateng hari ini?"

"Kamu pikir saya nggak tau? Kamu di telfon sama Pak Johny kan? Kalo nggak di telfon kamu nggak bakal dateng."

"Nggak gitu."

"Alaaahhh, tinggal bilang aja. Udah cukup ya, kamu begini karena mamah. Kamu malu saya di keluarga kamu. Mas Taeyong nggak pernah ikhlas kalo harus ngurusin saya!"

"Saya hari ini dateng sebagai wali kamu. Ngertiin saya dong! Saya harus kesini, jauh, izin ke kantor, dan kamu bilang apa tentang saya?"

Wah, kok malah ngegas sih. Kan gue jadi tambah kesel. "Tuh kan, keliatan nggak ikhlasnya. Itu aja diung-"

"Cukup!"

Gue membeku, ini bukan sekedar ngegas, tapi meledak. Dia menghembuskan nafas kasar. Beberapa detik memijat pelipisnya. "Oke- saya perjuangin kamu."

BABI! Apa nyambungnya? Ngelindur ya? Atau sengaja mau mengalihkan pembicaraan?

"Dengerin saya-" katanya melembut. Meski gue menunduk, tapi di sudut mata, gue bisa melirik dia tengah melihat gue dengan perasaannya.

"Saya bisa melakukan apapun. Saya pinter dalam hal apapun-"

Bau-bau kesongongan. Cuih, paling ujung-ujungnya pamer.

"Tapi semua itu tetap bukan jalan saya. Memasak, main bola, IPA, matematika, dan lainnya. Semua itu berakhir sekedar jadi hobi. Kamu tahu keluarga Lienata, saya satu-satunya keturunannya, satu-satunya penerus papah."

Dia diam, menatap lurus banyaknya mobil di luar sana. "Saya dulu pengen jadi pemadam kebakaran, tapi saya sadar betapa nggak mungkinnya itu. Saya selesai dengan harapan saya hanya di mimpi. Sampai saya selalu sadar anak dari siapa dan harus apa. Kalo bukan saya yang lanjutin kantor papah, siapa lagi?"

Yang setelah ucapan itu dia menoleh, kembali pada tatapannya yang gue pikir itu, tulus?

"Maka dari itu, saya dukung kamu mulai sekarang. Lakukan yang mau kamu lakuin. Saya setuju asal itu nggak berefek negatif. Saya support kamu selalu. Ayo lakukan bersama, jangan takut, saya di belakang kamu-"

"Enggak, saya di samping kamu selalu. Tugas kamu sekarang, rajin cerita ke saya apa aja tentang hidup kamu."

Gue membalas tatapannya sebentar, mendapati sedalam itu ketulusan dari kata-katanya sebelum mengangguk, amarah yang tadi menghilang entah kemana.

Menatap Taeyong sambil tersenyum. Entah selama apa gue dalam mobil di parkiran. Tapi rasanya waktu berputar terlalu cepet.



'Karena saya udah jadi wali kamu.'

[not] CinderellaWhere stories live. Discover now