26

115 18 2
                                    

Waktu sakit kemarin, nggak ada yang nanyain gue sama sekali karena gue nggak menunjukkan tanda-tanda ke mereka. Contoh aja, waktu makan malam demamnya turun dan gue beraktifitas seperti biasa.

Padahal siangnya gue ngerasa lagi sakaratul maut. Lebay ya, tapi itu yang di rasain orang sebatang kara kayak gue. Coba ada yang jagain, pasti rasanya mendingan.

Kalo soal pembantu, yang dua puluh empat jam itu cuman satpam. Itupun ada dua orang. Dan pembantu lainnya hanya datang pagi setengah enam dan ashar buat bersih-bersih rumah sekalian ngurus kebun. Yang artinya gue kemarin siang bener-bener sendirian dirumah.

Kalo soal makan, always mamah everyday. Kalopun mamah capek banget, beliau selalu bawa makanan dari luar.

Kayaknya gue sakit juga gara-gara kangen Renjun, Haechan dan Jaehyun. Buktinya gue sembuh hari ini setelah semalem minta izin buat pulang ke rumah Renjun beberapa hari.

Walaupun dengan syarat harus dianter Taeyong. Cowok itu aja sampe bilang, "emang aku supirnya apa mah?"

Nggak enak sih, tapi untung gue udah kebal jadi nggak peduli sama Taeyong yang kejam itu.

"ini." Gue menggigit bibir memberikan kotak ke Taeyong setelah keluar toko kue.

"Apaaan nih?" Dia mengernyit.

"Hadiah ulang tahun."

Katanya suka Tiramisu cheesecake, gue beliin ukuran yang paling kecil takut duitnya nggak cukup. Kan niatnya mau ngajak jalan-jalan trio sodara.

"Udah telat. Ini mah namanya kasih barang bukan kado."

Gue memalingkan wajah. Nggak mau liat wajahnya sama sekali. Lagian bingung juga mau kasih apaan. Dia itu udah punya segalanya. Jam tangan rolex, baju mahal merek gucci dan lainnya, belum lagi mobil dari papah.

Kalo gue kasih barang mahal, dana darimana. Gue kasih kue aja dia bilang, "duit dari mana?"

Nah kan, gimana gue mau kasih barang bermerek. Mungkin aja dia langsung ngomong, "ngepet dimana?"

"Bukannya uang kamu banyak ya?" Celetuknya.

Gue menggeleng, "nggak sebanyak punya Mas."

What! Mulut gue manggil apa? Laknat banget nih pasti. Udah lama nggak dzikiran jadi ngelantur mulutnya.

Makin aja gue nggak mau liat mukanya. Malu anjir.

"Tiap hari dikasih mamah kan?"

Gue mengangguk aja. Nggak sanggup berkomentar. Masa iya gue bilang uangnya disimpen takut nggak dikasih lagi. Atau uangnya mau buat jalan-jalan sama sodara saya. Ini namanya nggak tau diri woi!!

"Kok kasihnya cuman kotak ini?"

Setan dasar! Nggak sadar diri emang. Udah dikasih bukannya bilang makasih malah komen. Lagian gue juga duitnya dari rumah dia. Harusnya ngerti dong. Otaknya lagi dipake nggak sih? Jangan-jangan ketinggalan di kamar.

"Saya kan nggak punya uang banyak."

"Mau saya kasih nggak?" Dia menghentikan mobil lalu menyodorkan uang rarusan ribu lima. Gue ngiler banget. Tapi enggak lah. Ntar dikira matre. Walaupun sebenernya gue emang matre.

Gue segera turun karena dia emang berenti di depan gang rumah.

"Ini kamu beneran nggak mau?"

Gue menggeleng. "Makasih. Saya pergi."

"Yaudah. Bilangin Tante kamu saya nggak bisa mampir. Lagi buru-buru." Katanya memasukkan kembali uang ke dompet.

Dasar tukang ngibul. Dia mau kemana emangnya? Daritadi aja santai.

Anjir, gue ngiler duitnya.

Astaghfirullah.

[not] CinderellaWhere stories live. Discover now