12

122 22 0
                                    

Gue kembali ke kamar dengan perasaan kecewa. Emang sih, keberadaan gue disini mungkin nggak bisa diterima dengan lapang dada oleh orang-orang mengingat betapa mudahnya gue menerima hidup enak dan fasilitas mewah.

Taeyong nggak akan gue paksa buat menerima gue juga. Haknya dia buat suka atau benci ke seseorang. Gue cuma syok. Dirumah Renjun nggak ada yang begitu ke gue. Mereka wellcome menerima.

Kalo Mamah sama Papah ada, gue nggak akan begini ya--

Atau kalo gue nggak menerima tawaran buat jadi anak angkat disini. Hmm-- mungkin gue masih bisa nongkrong di rumah bareng Haechan, Renjun, dan Jaehyun.

"Halo--"

Gue termenung sesaat. Berniat mengungkapkan unek-unek dalam hati ke Renjun. Dia mungkin bisa memberikan solusi yang baik.

"Eum, Njun-"

"Apa? Gimana? Mau pamer lagi betapa mewahnya kehidupan lo disana?"

Gue terkekeh, "apasih Njun. Lo iri kan?"

"Enggak lah. Gue udah bahagia disini."

Yaiyalah. Lo masih ada orang tua Njun meski hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Gue merasa makin miris aja.

"Eh, Mah. Aya nih nelfon."

Dan nggak lama, suara Tante Arum terdengar. "Halo, Aya? Kamu gimana nak?"

"Baik Tante. Rumahnya gede."

"Betah dong?"

"Bukan betah lagi Mah, dia seneng banget malah tadi cerita. Katanya fasilitasnya lengkap. Makanannya enak-enak, banyak lagi. Duh, pasti bahagia tuh disana---"

Suara Renjun cerita gue putus. Mematikan data seluler dan menonaktifkan ponsel. Mungkin nggak sekarang gue cerita. Jalani aja dulu.

《《《《♡》》》》

Gue melahap mie ayam yang tersuguh di depan mata. Beberapa kali perut gue bunyi waktu pelajaran tadi.

"Lo nggak dikasih makan disana?"

Jaehyun menatap gue entah apa artinya. Kayaknya dia merhatiin gue daritadi. Haechan menoleh sambil memakan batagornya, sementara Renjun melihat gue di depannya.

Gue menelan habis mie ayam di mulut sambil menggeleng. "Enggak."

"Terus ini? Lo kayak nggak pernah makan."

Gue tersenyum, menggaruk kepala yang nggak gatal. "Sebenernya, tadi pagi gue sarapan roti."

"Terus?" Renjun mengernyit.

"Bego semua! Mana kenyang Aya makan roti. Biasanya kan nasi lima piring." Haechan menjelaskan kondisi gue yang sebenar-benarnya.

Iya, mana tadi gue cuman makan selembar roti. Mau makan lima lembar takut dikira rakus, toh gue harus jaga image dulu dong. Semalem, waktu makan bareng juga gue cuman makan sedikit ya, jangan malu-maluin diri sendiri.

Udah numpang, makannya kayak babi. Mau ditaruh dimana muka gue?

"Gue kira lo nggak betah."

"Tapi beneran lo betah kan?" Jaehyun itu terlalu peka deh.

"Iya. Tenang aja Mamas Jaehyun. Gue makmur disana. Cuman semalem nggak bisa tidur."

Haechan melotot, "kenapa? Kangen gue? Atau lo diperbudak?"

"Astaghfirullah. Yang bener dong Chan kalo ngomong." Renjun emang selalu jadi sodara terbaik.

"Gue takut--"

Semuanya menatap gue serius, "takut pas bangun itu cuman mimpi. Jadi gue bangun terus, mastiin kasur empuknya beneran masih nyata atau enggak."

Semuanya berdecak protes. Well, gue bohong setengahnya. Alasan gue nggak bisa tidur adalah meratapi nasib. Lebay memang. Apalagi waktu makan malem Taeyong nggak ada. Gue makin nggak enak hati, takut dikira jadi perebut orang tua. Dia keliatan nggak sukanya sama gue.

"Terus lo kemaren sore kenapa matiin telfonnya?"

"HP gue mati Njun. Batrenya abis. Tau sendiri kan, disana ada wifi. Gue bebas banget main sosmed sampe lupa batre."

"Anjir banget. Gue kemarin minta Mbak Mia buat pasang wifi dirumah malah diceramahin. Kesel gue."

Semua ketawa, lalu Renjun dengan bijaknya nyeletuk. "Sadar diri makannya Chan. Berbakti dulu baru minta. Tiap hari aja ngelawan, gimana orang tua mau ngabulin."

"Aya aja tiap hari kerjanya nongkrong sama gue, tiba-tiba rumahnya gedongan. Gue kapan?"

Jleb banget omongan Haechan. Bener sih, dan wajar kalo Taeyong nggak bisa lapang dada menerima gue mengingat dengan gampangnya gue menerima hidup enak dari orang tuanya.

[not] CinderellaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt