14

120 21 0
                                    

Udah setengan jam sejak gue nyuruh Jaehyun dan Haechan pulang. Parkiran juga udah mulai sepi, menyisakan anak-anak yang berperan sebagai pengurus osis.

Gue menggerakkan kaki bosan. Panas sinar matahari yang makin menyengat membuat keringat dipelipis menetes banyak, rasa haus mulai gue rasa di tambah perut yang keroncongan.

Apa dia nggak jadi jemput?

Layar HP gue buka, kemudian urung. Baru sadar kalo gue nggak ada nomernya. Atau dia lupa jemput? Mending gue pulang naik ojek aja.

Mobil hitam yang tadi pagi mengantar berhenti. Gue berdiri mendekat lalu membuka pintu mobil. "Udah nunggu lama?"

Gue menggeleng kecil, "baru aja."

Entahlah, kebohongan ini dia percaya atau enggak karena keringat membanjiri pelipis. Toh dia nggak bakal peduli.

Gue menggigit bibir bawah kuat, mau nangis aja sih tadi. Dia tuh kalo nggak suka sama gue jangan bikin sakit hati gini. Kalo gue emang nggak diinginkan hadir jangan bikin gue mundur dengan cara begini.

Bisa kok dia nyuruh gue secara pribadi buat menolak ajakan keluarganya. Dan dengan lapang dada gue nggak akan ikut Tante Rianty dan Om Yudha. Segini kejamnya dunia buat gue yang udah nggak punya orang tua di dunia ini.

Gue memasuki rumah setelah berusaha mati-matian buat tersenyum dan bilang 'makasih'.

Tante Rianty dengan wajah sumringah mengajak gue duduk di sofa sebelahnya. Beliau menunjukkan sebuah bungkusan yang isinya sepatu.

Well, gue takjub sebentar karena melihat harga yang gue taksir sendiri. Ini sepatu mahal dan bermerek. "Buat kamu, pasti cantik dan cocok di kaki kamu."

Agaknya gue pengen menolak. Kasian sepatunya nanti cepet rusak di pake sama kaki kucel gue. Malah parahnya, mungkin seminggu dipake sepatunya lecet kesenggol kaki gue.

"Makasih Tan-"

"Mamah, kamu jangan lupa. Butuh waktu memang, tapi saya harap kamu cepet terbiasa." Beliau menyela.

Wajah berbinarnya selalu ditunjukkan. Ini loh ya yang bikin gue kangen sama mamah. Nggak pernah terbayangkan gue akan memanggil wanita paruh baya lain dengan panggilan mamah.

Dan gue mengangguk sopan, "iya Mah."

Gue melirik ke atas, mendapati Taeyong sedang berdecih mendengar panggilan gue untuk mamahnya.

[not] CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang