21

121 20 2
                                    

Mrs.Amel keluar dari kelas saat seluruh ruangan beserta koridor hanya menyisakan beberapa orang. Beliau mendekat, "wali kamu belum datang?"

Gue menggeleng lemas.

"Kalo udah datang, ke ruangan saya aja ya."

"Anu- Mrs, kalo saya ngambil sendiri nggak boleh?"

Mrs.Amel menggeleng pelan, lalu tersenyum. "Udah peraturan dari sekolah. Maaf ya."

Tadi itu Tente Arum mau ngambilin. Tapi gue tolak takutnya Mamah atau Papah dateng, nanti mereka kecewa.

Punya Haechan juga diambilin Tante Arum, emang sejak SMP dia itu rapotnya diambilin mamahnya Renjun, soalnya Eyang Mardiana udah nggak mau ngambilin.

Rambutnya yang beruban banyak jadi alasan beliau nggak mau ngambilin. Padahal mah mungkin males aja gitu, secara Haechan jarang dapet rangking kayak Renjun.

Jadi, Eyang Mardiana melahirkan Haechan waktu umur empat puluh empat tahun. Amazing banget kan? Karena dulu nggak ada program umur maksimal hamil kayak sekarang.

Eyang juga dulu pernah bilang kalo Haechan itu nggak direncanakan. Katanya cukup punya Mbak Mia sama Om Satria aja, tapi Haechan malah tumbuh. Denger cerita Eyang, sontak gue dan yang lain ketawa. Kita seneng banget waktu itu ngeledek Haechan sampe mampus.

Kok malah jadi ghibahin Haechan? Ya iya sih, buat menghilangkan kesal juga udah nunggu sejak setengah jam lalu setelah nyuruh Renjun, Haechan dan Tante Arum pulang. Untungnya mereka nurut dan percaya kalo bentar lagi salah satu wakil gue datang.

Meski gue akhirnya kecewa. Pasrah aja nunggu di halte. Udah nggak ada semangat lagi. Mungkin mereka nggak sempet ngambilin. Terserah lah kalo ternyata gue nggak naik kelas tiga, nggak lulus sekalian terus diusir dari rumah keluarga Lienata, jadi gelandangan mati di kolong jembatan.

Eh, Astaghfirullah. Gue nggak boleh gitu. Tahan emosi. Nyebut yang banyak.

Gue menyandarkan kepala ke tiang, menyalakan musik full volume pake Headset. Lesu. Kalo gue nggak punya orang tua asli sih iya, tapi kalo wali masih ada yang mau ngaku? Atau sebenernya ini gue dibuang?

Tepukan di kepala membuat gue mendongak. Melepaskan headset dan menatap Taeyong malas. Ngapain dateng? Telat.

"Kok sepi sih?"

Ini nih, katanya calon pewaris kekayaan Lienata. Tapi begonya nggak ngukur. Saking keselnya, gue berani berdecak di depan dia. "Telat. Pulang aja udah. Punya saya nggak usah diambil."

Gue berdiri, hendak masuk mobilnya yang ada di depan halte. Tas yang gue gendong ditarik. Kesabaran yang dari tadi ditahan meluap. Gue menatap dia galak dan kecewa sekaligus.

"Taeyong bukan?"

Sebuah motor sport berhenti di sekitar mobil. Antara gue dan Taeyong sama-sama menoleh. Laki-laki itu membuka helm dan, "eh- woii! Johny?"

Keduanya bersalaman dan tos ala cowok. "Lo disini?"

"Iya. Gue guru olahraga."

"Nggak beda jauh lo."

"Lama ya nggak ketemu."

Terserah ya. Mereka malah sibuk sendiri. Gue aja males liat Pak Johny, takutnya jadi natap marah ke dia. Bisa luntur image teladan gue di depan para guru.

"Lo sendiri ngapain?"

"Ngambil rapot dia."

"Jiaya ya?" Tanya Pak Johny membuat gue menoleh dan melihat dia sambil tersenyum. Gue harus mempertahankan image teladan yang suka guru banggakan.

"Mrs.Amel tadi baru mau siap-siap tuh. Buruan. Nanti keburu pulang."

[not] CinderellaWhere stories live. Discover now