17

123 21 0
                                    

Paginya, gue berangkat lebih awal. Sarapan nggak gue habisin dan mobil yang biasa mengantar gue ini ngebut.

Suasana hening kecuali dari mesin, toh gue juga nggak berniat membuka pembicaraan. Wajahnya selalu sama, hanya saja kali ini lebih kelihatan marah.

Waktu sarapan tadi dia sama Mamah berdebat perihal kepulangannya yang terlambat dan hilangnya dia kemarin. Gue masih inget jelas dia menjawab dengan santainya 'pergi main ke rumah Ema'. Entah siapa itu, Mamah juga keliatan nggak peduli.

Dan dari adu mulut pagi itu juga, gue bisa menyimpulkan kalo dia itu sering pulang malam. Mungkin itu udah jadi kebiasaan, karena gue sering mendapati Taeyong nggak ikut saat makan malam.

"Mamah maunya apa? Aku pulang salah, aku nggak pulang dimarahin."

Begitulah kutipan Taeyong tadi.

Bahkan kalo mamah nggak menghadang di gerbang, mungkin gue udah berangkat naik ojek atau angkot. Segitu keras kepalanya keturunan Lienata ini, nggak sadar umur pula.

"Ini dari mamah." Gue menyodorkan bekal berisi sandwich. Dia tadi cuman minum segelas susu.

"Buat kamu aja."

Enggak dong, gue mau jadi cewek yang amanah. Toh gue mau kasih liat kalo mamah sebenernya peduli sama dia. Gue keluar menaruh bekal yang tadi di kursi.

Cowok itu mengambilnya, lalu membuka kaca mobil dan bergerak kayak mau melempar. Well, gue melotot, hampir aja teriak. Dasar anak nggak tau diri. Kapan dewasa sih?

"Anjing! Bangsat! Dasar, anak setan!"

Gue mengamalkan kata-kata laknat yang diam-diam gue pelajari dari Haechan. Tenang, itu nggak bersuara kok. Gue memandangi mobilnya sinis yang mulai menjauh sambil memegang kotak bekal.

Lalu berdecak, mengingat hari ini gue nggak dikasih uang jajan. Biasanya kalo Papah nggak kasih, dia bakal kasih. Tapi tadi mereka berdua nggak ngasih.

[not] CinderellaWhere stories live. Discover now