22

129 22 0
                                    

"Kok mau ngambilin?"

Gue bertanya. Selalu tanpa embel-embel panggilan. Bingung. Antara umurnya sama hubungan keluarga. Mau manggil Mas tapi cocokan dipanggil Om.

"Terpaksa." Ucapnya singkat membuka buku rapot.

Setelah menemui Mrs. Amel, gue jadi agak melebur rasa keselnya. Udah mulai jinak.

Taeyong mengernyit, "kok perilaku kamu disini B?"

"Standar. Daripada C."

"Selama ada A kenapa harus B? Selama ada yang terbaik kenapa kamu cuman dapet nilai standar?"

Gue berdecak, "nilai saya yang diatas selalu dapet sembilan."

"Kalo ada nilai seratus kenapa malah dapet segitu?"

"Udah lah! Capek tau nggak! Iya, saya emang selalu salah, nggak pernah bener. Percuma juga berusaha, saya aja nggak dilihat. Kalo benci sama saya bilang. Biar saya nyerah buat bertahan di rumah. Nggak pake cara gini, saya bisa keluar baik-baik dari rumah!"

Emosi yang di pucuk nggak bisa di tahan. Gue membuka pintu mobil tapi tangannya menahan membuat gue kembali terduduk dan pintunya tertutup rapat.

Dari pintu yang nggak bisa dibuka lagi, gue yakin Taeyong yang ngunci. Gue mulai terisak, setelah sekian lama ditahan juga amarah sejak berbulan lalu.

"Saya mau pulang ke rumah aja."

"Emang kamu punya rumah?"

Gue kembali menutup mulut. Rumah resmi gue udah dijual. "Sa-saya bisa numpang lagi di rumah Renjun."

Mobil masih diam, Taeyong mengusap wajahnya kasar. Terlihat frustasi. Well, yang harusnya begitu gue. Kenapa dia bertindak lebay seolah gue yang salah.

"Duh, bocil." Gumamnya yang gue denger jelas.

Anjing ya!

Taeyong mulai menyalakan mobil untuk menjauh dari area sekolah. Dia membuang nafas sebelum bilang, "seenggaknya rangking kamu satu. Nggak malu-maluin banget."

Dia melempar sembarang buku rapot itu ke kursi belakang. Mungkin sejak dulu dia itu diharuskan selalu dapet nilai sempurna makanya nggak terima waktu gue cuman dapet nilai segitu.

[not] CinderellaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon