80

131 14 6
                                    

Paginya, gue mendapati sebuah handuk di kening dengan Renjun yang udah berdiri di samping ranjang. "Kipas anginnya nyala terus semaleman. Lo jadi meriyang." Begitu katanya setelah gue menatap dengan kebingungan.

Gue melihat baju semalam yang belum ganti. Berarti nggak mimpi ya? Terus kenapa gue bangun? Tau gitu gue nggak pengen bangun selamanya. Kubur gue hidup-hidup. Tolong.

Gue memalingkan wajah, berpura-pura mengucek mata setelah bangun padahal lagi hapus air mata yang hampir keluar lagi.

Mulai hari ini, hidup gue rasanya beda. Entah apa, tapi gue ngerasa semuanya nggak akan pernah kembali kayak dulu lagi.

"Makan dulu Ya. Lo tidur lama banget." Kata Renjun menunjuk jam.

Gue menggeleng, melihat jam dengan jarum pendek diangka sepuluh dan jarum panjang di angka tiga. Mengikuti gerakan jarum detik dengan suara detakan yang terdengar cukup jelas.

Bener sih, mau sampe kapan gue terus-terusan melarikan diri. Jam bahkan terus berputar. Waktu terus berlalu. Satu-satunya cara menghapus fakta gue calon istri Taeyong adalah dengan menggorok nadi.

Tapi sayangnya gue nggak seberani itu. Mending digerogoti penyakit aja. Lama-lama juga mati. Astaghfirullah.

"Aya! Jangan ngelamun. Kalo kesurupan gimana?"

"Tante mana?"

"Pasar."

Renjun mengangkat piring, "makan ya. Sini gue suapain."

Nggak nafsu, nafas aja terpaksa.

"Lo harus makan biar cepet sembuh."

Justru gue nggak mau sembuh. Maag gue kapan kambuh? Gue pengen digerogoti penyakit biar mati.

Renjun terus menyodorkan semdok makanan, padahal gue udah menggeleng berkali-kali. Ini anak nggak pernah nurut, manunya diturutin.

"Renjun!"

Cowok itu terkesiap, meletakkan piring dan mengganti kompresan. "Kepalanya sakit? Sini gue pijitin."

Tangan cowok itu mulai memijat kening yang malah membuat gue terisak. Nggak tega kalo gue nolak keluarga Taeyong terus Renjun ikut kena masalah.

"Kenapa?" Tanyanya lembut.

Gue terisak gitu aja, ada rasa nggak enak sama Renjun. Gue pengen cerita ke dia. Tapi semuanya gue rasa masih belum bisa gue ungkapin ke dia.

Suara salam Haechan terdengar menggelegar, dilanjutkan dengan kalimat "Aya Woii, katanya lo balik? Bawa apa? Lo ulang ta-"

Dia membeku di pintu melihat gue yang dipeluk Renjun. "Astaghfirullah. Sodara, nggak boleh terlalu intim."

Dan mau gimanapun gurauan Haechan, gue tetep menangis. Malah lebih kuat. Gue bisa tau Renjun dan Haechan saling kontak mata buat menjelaskan, "ooh yang itu."

Gue belum bilang padahal. Tuh anak pasti salah sangka dikira gue ketemu Deya lagi makanya nangis.

"Kalo nggak mau bilang aja Ya."

Bilang apa? Dasar sok tau si Haechan. Gue menatap keduanya bergantian. "Biar Renjun yang maju. Keluarga Taeyong pasti ngerti."

What!

"Jadi- kalian semua..." gue tertawa hambar dengan air mata yang masih mengalir.

"Aya! Bagi-bagi sedekah apa lo tahun ini?" Dan satu lagi, manusia berdimple itu muncul dibelakang Haechan.









"Aya! Bagi-bagi sedekah apa lo tahun ini?" Dan satu lagi, manusia berdimple itu muncul dibelakang Haechan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Waktu Haechan kontak mata ☝️☝️☝️☝️☝️


















Juga jawaban Renjun ke Haechan tanpa kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juga jawaban Renjun ke Haechan tanpa kata. Sama-sama pake bahasa isyarat.












 Sama-sama pake bahasa isyarat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang dateng tanpa salam. Mukanya santai soalnya belum paham situasi😁😁😁😁

[not] CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang