Tiga Kurcaci Pembuat Onar dan Satu Papa Peri

558 110 247
                                    

Seorang pemuda duduk di dalam bis sambil melihat ke luar jendela dengan tiga kotak bekal bewarna terang; merah, kuning, dan hijau, berada di pangkuan. Terdengar helaan napas dari mulut sosok bersurai hitam itu saat membetulkan kacamata yang sedikit turun karena tersenggol penumpang di sebelahnya.

Dia melirik ke bawah, melihat seragam 'tuk memastikan tidak ada yang salah dengan penampilannya. Terlihat nama lengkap serta panggilan tertera di atas saku baju; Hilya Dani Pramudya (Hidan).

Tangan besar itu mengeratkan pegangan di barang bawaan, alis ikut bertaut, dan kulit putih yang berubah sedikit merah di wajah tampannya. Entah bagaimana, rasa kesal menghampiri pemuda berkacamata tersebut saat mengulang kejadian yang dia alami sebelum berangkat ke sekolah.

Pagi ini, Hidan dengan santai keluar dari kamar mandi umum panti yang berada di ujung kanan lorong lantai dua bangunan. Dia mengenakan handuk di pinggang lalu menutupi bagian atas tubuh atletisnya dengan kaus putih polos. Sambil melewati beberapa pintu ruangan yang lain, pemuda itu terus melihat lukisan para penghuni tempat yang tertempel di dinding.

Mata Hidan membola, terperanjat ketika merasakan pukulan pelan di bokong yang tidak begitu montoknya. Segera dia berbalik, melihat sang pelaku dengan tajam dan mengulum bibir bawah gemas.

Tampak seorang gadis mungil berkulit kuning langsat dengan rambut lurus dan dahi yang ditutupi poni tipis. Mata bulat itu membalas pandangan Hidan, kemudian dia tersenyum lebar hingga pipi gembilnya naik.

"Congratulation morning, Idan!" sapa si gadis bersemangat dan melambai serta menggerakkan jari-jari pendeknya.

"Artha! Berapa kali gue bilang enggak boleh gitu? Kita bukan bocah lima tahun lagi! Sekarang udah tujuh belas tahun, pegang pantat orang lain sembarangan itu enggak baik," bentak Hidan sambil memegang sebentar bagian tubuh yang ternodai oleh tangan gadis bernama Artha itu.

"Ha ... senangnya dengar lo ngomel pagi-pagi gini, Idan," sahut Artha dengan terpejam seolah menikmati alunan lagu merdu, diikuti tangan yang dimainkan seperti pemandu vocal grup.

Hidan mengelus dada dengan kedua tangan sambil menutup mata minus tersebut, menarik napas dalam kemudian mengeluarkan perlahan setelah membenarkan letak kacamata yang hampir terjatuh. Dia sudah biasa dengan sikap Artha. Jadi memilih sabar untuk kali ini saja tidak masalah, pikirnya. Lagi pula, akan membuang tenaga jika tegang urat di pagi yang cerah begini.

Ke mana perginya Artha yang imut kayak dulu? Dia bener-bener berubah jadi iblis kecil sekarang, butuh kesabaran yang ekstra, batin Hidan merintih pilu, selayaknya seorang janda dengan selusin anak.

Namun, usaha Hidan menahan emosi seolah sia-sia. Dia kembali dikejutkan sampai mata kembali terbelalak karena untuk kedua kali bongkahan belakangnya ternodai.

Berbeda dengan pemuda itu, Artha tampak terkikik geli dengan berpura-pura menyeka air di ujung netra. Padahal tidak ada apa pun di sana selain kotoran yang mengeras.

"Pagi, Idan."

Hidan menoleh ke kiri, mendapati seorang pemuda berkulit pucat dengan rahang tegas serta rambut hitam lurus yang terlihat berantakan. Dia melengkungkan bibir ke atas sampai membuat mata kecilnya langsung tertutup. Pemilik eyes smile yang menggemaskan.

"Pagi, Relan," sahut Hidan setelah beberapa detik terdiam, mencerna apa yang baru saja terjadi kepada bokong 'tak montok, tetapi seksi miliknya.

"Hari ini yang pertama?" ujar Relan kepada Artha kemudian dijawab anggukan oleh yang ditanya.

"Oke, nanti gue beliin lolipop sebagai hadiah menangnya," imbuhnya lagi dan menepuk puncak kepala Artha, lalu mereka berdua pun pergi dari sana, meninggalkan Hidan dengan segala emosi terpendam.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now