Karena Janji Kita

101 43 108
                                    

Artha duduk di tepi tempat tidur, kemudian memandang sebuah boneka lucu yang ada di kepala ranjang. Sesekali terdengar helaan napas keluar dari mulut, semua perbincangan siang tadi bersama Hidan dan Yandra, menjadi beban pikiran baginya.

"Berry, apa Idan bakal ikut balik sama kakaknya?" tanya Artha kepada si boneka beruang cokelat dengan pita polkadot merah putih di leher.

Diam sejenak Artha lalu mengangguk pelan, seolah mendengarkan sesuatu dari benda yang diajaknya berbincang.

"Iya, 'kan? Enggak mungkin itu, Idan udah janji enggak akan tinggalin gue," ujar Artha lagi masih menatap lekat mata bulat si boneka.

Artha terperanjat dan mengalihkan pandangan dari lawan bicaranya ketika mendengar pintu diketuk. Segera dia bangun lalu berjalan menuju suara. Setelah dibuka, tampak Hidan dengan nampan penuh makanan di tangan.

"Ayo, makan!" ajak si pemuda berkacamata yang lebih terdengar seperti bentakan.

Memilih untuk tidak menjawab, Artha pun hendak kembali menutup daun pintu. Namun, aksinya terhenti karena Hidan menahan dengan kaki. Meski sedikit meringis menahan sakit, tetapi pemuda berkacamata itu tidak mempermasalahkan hal tersebut.

"Gue enggak lapar," ujar Artha dan membalas pandangan netra di balik kaca bergagang itu.

"Kalo gitu, ayo bicara sebentar!" kata Hidan lalu berjalan masuk ke dalam kamar Artha, setelah gadis itu membiarkan pintu terbuka lebar.

Setelah si pendatang meletakkan nampan ke atas meja belajar, Hidan dan Artha pun duduk bersebelahan di tepi ranjang. Tidak ada yang membuka suara, seolah angin sore yang masuk dari jendela sudah cukup mengisi kekosongan ruangan bercat merah muda itu.

Tangan Artha memainkan ujung kaus hitam yang dikenakan. Bibir mungil itu bungkam dengan bagian bawah yang sengaja digigit. Dia enggan mengutarakan apa pun sekarang, padahal begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukan kepada orang di sebelahnya.

Apa Hidan tetap tinggal atau pergi ke rumah keluarga besar bersama Yandra? Jika itu benar, bukankah Artha akan ditinggal? Tidak ada lagi omelan di pagi hari dan sosis goreng di dalam kotak bekal. Gadis itu ingin sahabat berkacamatanya tetap di panti, kemudian melalui hari-hari bersama dengan membuat banyak kenangan.

"Gue enggak akan balik ke rumah," ujar Hidan memulai percakapan.

"Ha?" sahut Artha dan menoleh ke arah lawan bicara yang ada di samping kanannya.

"Gue udah lama diajak pulang. Sejak kita SMP, gue udah ketemu sama orangtua kandung gue. Tapi, gue pilih buat tinggal di sini," ucap Hidan dengan membalas netra bulat itu.

"Kenapa, Idan?" balas Artha sedikit menautkan alis hitamnya.

"Gue ingat janji kita. Kita enggak akan pisah, 'kan? Gue coba buat tepatin itu. Gue mau jaga semua yang ada di panti. Termasuk lo, Iblis Kecil." Hidan meraih tangan Artha dengan mata yang masih beradu tatap.

"Sakit, Idan," ucap Artha dengan meringis.

Hidan sedikit mengerutkan kening, paham betul maksud dari gadis di depannya. Pasti menyakitkan setelah beberapa tahun, Artha baru mengetahui hal yang sengaja dia sembunyikan ini.

"Iya, gue tau. Karena itu gue minta maaf sama lo, soalnya enggak kasi tau lo sejak dulu," ujar Hidan dengan sedikit sendu di akhir kalimatnya.

"Bukan itu, Idan!" bentak Artha, kemudian menarik tangannya agar terlepas dari Hidan. "Tapi ini, lihat sampe merah! Kenapa, sih? Genggamnya erat banget, gue juga enggak akan ke mana-mana," imbuhnya lagi dengan bibir mengerucut.

Hidan terkikik geli mendengar perkataan Artha. Namun, berusaha untuk tidak melepaskan seluruh gelak tawa. Bagaimanapun dia harus membuat suasana hati sahabat cantiknya itu kembali membaik.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now