Tata Pacar Gue Mulai Sekarang

80 33 52
                                    

Di tengah keheningan belakang ruangan bercat kuning, kedua mata saling bertemu. Sosok lebih tinggi menggertakkan gigi, menahan emosi sambil terus mencengkram bahu gadis di depannya.

Tertunduk takut, Tata tidak berani membalas pandangan Relan yang tampak begitu menyeramkan. Jika ia melihat, manik hitam itu seakan bisa langsung menembus kepala. Dia melirik ke kanan, tampak bungkusan yang dibawa sudah tertumpah karena si pemuda berambut legam, melemparnya beberapa saat lalu.

"Kenapa ...," lirih Relan dengan mengguncang pelan sisi tubuh Tata.

"Kenapa lo lakuin ini, Ta? Lebih parahnya lagi lo enggak bilang sama gue kalo lo sekolah di sini. Udah sejak kapan lo di sini?" imbuh Relan, menekuk lutut agar bisa melihat Tata yang lebih pendek darinya.

Tata mengangkat kepala, melihat wajah Relan yang tadi kesal sekarang tampak sendu. Dia menggulung bibir ke dalam, selama ini tidak berniat untuk membuat sahabat masa kecilnya itu sedih. Namun, situasi dan kondisi memaksa melakukan semua ini.

"Jawab gue, Ta ...," lirih Relan lagi, kemudian menjauhkan tangannya dari bahu Tata.

"Elan, maafin aku. Aku udah di sini sejak seminggu semester awal kelas dua belas. Tentang yang aku lakuin, ini semua karena Artha terlalu dekat sama Elan," sahut Tata dan memainkan kancing bajunya.

Hening. Relan bungkam mendengar kalimat si lawan bicara, kedekatan dirinya dan Artha adalah penyebab hal-hal aneh terjadi.

"Lo suka gue?" terka Relan yang membuat mata Tata membulat sempurna.

"Elan jangan salah—"

Getaran ponsel yang berasal dari saku rok Tata membuat ucapannya terpotong. Segera dia meraih dan melihat nama yang tertera di layar. Keringat dingin mengalir di pelipis, gadis itu ketakutan setengah mati hingga menyeka pipi sampai dagu dengan punggung tangan.

"Angkat aja, gue bakal tunggu," ujar Relan ketika Tata melirik ke arahnya sebentar.

Setelah menggeser ikon hijau, Tata pun meletakkan ponsel ke telinga kiri. "Ha-halo," ujarnya sambil mencuri pandang ke kiri.

"Lo ketauan, ya? Kenapa gugup gitu?"

Terdiam. Tata mengulum bibir, bingung harus mengatakan apa untuk menjawab pertanyaan dari si penelepon. Tidak ingin berbohong, tetapi berkata jujur pun akan membuat hidupnya terancam sekarang.

"Jangan diem aja! Ketauan sama siapa lo?"

"Re-Relan," jawab Tata lagi usai menjilat bibir yang seakan kering.

Relan mengerutkan kening, melihat gelagat aneh dari Tata sejak tadi, merasa ada sesuatu yang salah telah terjadi. Bagaimanapun dia tidak ingin berpikiran buruk kepada gadis yang sudah dikenal cukup baik itu. Tata sahabat masa kecilnya, tidak mungkin melakukan hal jahat, apalagi kepada Artha.

"Coba sini," pinta Relan lalu merampas ponsel pintar Tata.

"Gina?" gumamnya ketika melihat nama yang ada di sana.

Relan meletakkan benda yang dipegangnya ke telinga. Memberi isyarat kepada Tata untuk diam dengan jari telunjuk di bibir.

"Jangan kasi tau Relan, kalo yang suruh lo itu gue. Cewek kayak Artha enggak pantes buat deket sama Relan."

"Lo Gina yang sekelas sama Alina dan juga pernah satu TK sama Tata, 'kan?" tanya Relan sambil tertawa getir.

"He? Re-Relan? Kok bisa kamu yang—"

"Mulai saat ini jangan ganggu kehidupan orang lain lagi. Tata pacar gue sekarang, seujung kuku aja lo nyentuh dia, gue yang akan kasi pelajaran ke lo. Enggak penting lo cewek, kalo salah harus tetap dapat hukuman," potong Relan cepat dan segera mematikan panggilan secara sepihak.

Tata memandang Relan diikuti mulut terbuka lebar, masih belum percaya apa yang baru saja terjadi. Pemuda itu mengatakan banyak hal, tetapi yang paling menjadi beban pikirannya sekarang, adalah sikap Gina nanti ketika di kelas.

"Mingkem, jangan bikin muka cantik jadi jelek gitu," ucap Relan dan menyentuh dagu Tata untuk berhenti melongo.

"Ya, Tuhan! Elan kenapa bilang gitu? Apa Elan enggak tau, kalo si Gina dan temen-temennya itu sadis banget, aku takut kalo nanti mereka bakal bully aku," ujar Tata dengan menggigit kuku.

"Ada gue, Artha, Alan, dan Idan. Lo baik-baik aja selama ada kami di sini," balas Relan santai.

Tata melengkungkan bibir ke bawah, merasa berdosa sudah melakukan kesalahan dengan menuruti perintah Gina. Mengusik kehidupan Artha untuk menyelamatkan diri sendiri, tidak seharusnya dia begitu.

"Jangan terlalu dipikirin," ujar Relan dan menepuk lembut kepala Tata.

"Makasih, Elan. Aku senang bisa ketemu kalian lagi."

Sementara itu di kamar Artha. Hidan sudah berulang kali memeras handuk kecil dan meletakkan ke dahi si sahabat cantik, berharap gadis itu akan tidur setelah terjaga karena ia membuka pintu sedikit keras beberapa menit lalu.

"Idan ...."

Hidan memutar bola mata malas, jengah dengan Artha yang terus memanggilnya sejak tadi dengan tatapan pilu. Dia sendiri tidak mengerti apa penyebab gadis itu menjadi sangat emosional. Sejauh yang diketahui, sosok cantik tersebut memang merepotkan di kala sakit karena bertingkah bagai anak kecil. Kerap meminta hal-hal aneh, seperti kelereng atau mainan bongkar pasang. Namun, kali ini berbeda, Artha terus memanggil nama Hidan dengan lirih, membuat sang empu merasa heran dan geli pada waktu bersamaan.

Hidan melirik jam dinding, berpikir akan telat ke sekolah hari ini. Dia juga sudah meminta Ralan untuk pergi tanpa menunggunya, bersama anak-anak panti yang lain naik bis.

"Idan ...."

"Iya, apa?" jawab Hidan sedikit tenang meski sudah kesal sejak tadi. Namun, mengingat kondisi Artha yang tidak sehat, dia pikir akan buruk jika bersikap kasar seperti biasanya.

"Idan, di mana Alan dan Bang Elan?"

"Sekolah."

"Idan ...."

"Iya, Tha. Apa lagi?" sahut Hidan dengan sedikit menekan kompres Artha sedikit kuat.

"Apa Idan benci Artha?" tanya Artha dengan terus melihat Hidan yang duduk di bangku sebelah ranjangnya.

"Kenapa Artha tanya gitu?"

"Soalnya Idan enggak ijinin Artha makan kue yang dikasi Bang Elan," ujar Artha dan menarik cairan dalam hidung, sampai berbunyi seperti pria tua menyeruput teh.

"Aku enggak benci Artha, itu karena Artha alergi kacang jadi enggak boleh makan itu. Sekarang Artha istirahat, terus sembuh, dan bisa main sama kami bertiga. Nanti kita ke sungai sambil hanyutin perahu kertas," bujuk Hidan sambil menarik selimut Artha hingga menutupi dada.

"Tapi, Artha enggak alergi kacang, Idan ...," rengek Artha sedikit mengerucutkan bibir.

Sebenarnya, Hidan juga tahu, tetapi hanya tidak suka jika Artha menerima pemberian Relan waktu mereka masih kecil dulu. Bagi pemuda itu, si cantik berambut lurus adalah miliknya, tidak boleh seorang pun mengambil perhatian si iblis kecil tersebut.

"Ha ... ya udah, pokoknya sekarang tidur. Aku mau pergi dulu."

Hidan berdiri dari duduknya, beranjak setelah mengelus pelan rambut Artha. Ketika berada di pintu, dia berbalik, melihat iblis kecilnya yang sudah kembali lelap.

"Artha, gue enggak bisa bilang suka ke lo, di saat gue belum punya apa-apa untuk dibanggakan sebagai laki-laki," monolog Hidan lalu membuka pintu dan ke luar.

.
.
.
Halo semuanya, terima kasih udah terus ada untuk Artha dkk 😘 btw jangan lupa follow dan share yak, aku harap kalian berbaik hati ingin membagikan kisah seru Artha dkk ke pada teman² kalian juga uwu 😶♥️
.
.
Btw sehat terus semangat terus ya? Jangan lupa tersenyum, semua orang pasti pernah jatuh, tapi jangan nyerah, ya? Semua yang kamu perjuangkan sekarang akan membuahkan hasil di kemudian hari 🤗

My Absurd Best Friends [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang