Tentang Keluarga dan Tempat Untuk Pulang

107 40 88
                                    

Hidan membulatkan mata, tidak percaya dengan semua yang dijelaskan oleh sang Ayah. Alasan mengenai dia yang terpaksa dititipkan ke Sofi pada usia tiga tahun, tentang betapa sulit dunia bisnis jika sampai para pesaing tahu keberadaan pemuda itu, dan fakta mengenai Yandra yang bukan Kakak satu Ibu dengannya.

Hidan memegang kepala yang terasa pening, mencoba mengambil napas, dan mengembuskan perlahan. Sofi yang ada di sebelahnya pun memegang tangan besar itu agar suasana hati si pemuda berkacamata menjadi lebih baik.

"Terlalu sulit untuk dijelasin, Dani. Tapi sewaktu kamu kelas sembilan, itu semua mulai membaik. Saingan bisnis udah enggak terlalu bikin repot. Karena itu, Papa berusaha buat ajak kamu pulang lagi," ujar pria paruh baya yang ada di depan Hidan sambil membenarkan letak kacamata.

Semua ini demi kebaikan Hidan. Itulah yang mampu dia simpulkan dari penjelasan sang Ayah, dibantu Yandra yang terus meyakinkannya.

"Jadi, mari balik ke rumah," imbuh sang Ayah lagi dengan tersenyum manis.

Hening. Tidak ada balasan apa pun dari Hidan. Dia memang menginginkan keluarga yang utuh, tetapi perjanjian dengan Artha tidak bisa diingkari begitu saja. Masih banyak pertimbangan di dalam hatinya.

Sementara itu, di tempat Artha berada sekarang. Jalanan sepi menuju panti asuhan dia lewati dengan santai sambil menenteng plastik berisikan pembalut yang sudah dibeli beberapa menit lalu. Dia bersenandung pelan saat melewati rumah-rumah dan beberapa tukang siomay dan batagor di sana.

"Kaing ... kaing ...."

Terhenti kaki Artha di taman bermain ketika mendengar rintihan seekor anjing.

"Guguk!" teriak Artha dan mulai masuk ke dalam taman.

Artha melangkah perlahan, matanya menyusuri tiap sudut area tempat berpijak sekarang. Dari mulai ayunan, kotak pasir, besi memanjat, dan perosotan yang ada di sebelah terowongan kecil.

Setelah mencari kurang lebih lima menit, akhirnya Artha berhasil menemukan sosok anjing kecil di belakang pohon ceri besar yang berada dekat dengan salah satu bangku taman. Tampak si anjing kecil tidak bisa berjalan karena kaki yang terluka parah.

Artha menekuk lututnya, mengambil tubuh kecil berbulu putih itu dengan lembut. Wajah cantik tersebut tampak sendu, dengan alis bertaut dan ujung bibir sedikit ke bawah saat pikiran memutar kembali kejadian masa lalu.

"Kamu ini masih untung mau kami asuh! Kenapa suka banget ngerepotin orang lain, ha? Cuci piring enggak becus, nyapu enggak bersih. Sekarang malah sakit, taunya nyusahin aja," keluh seorang wanita paruh baya bertubuh gendut kepada gadis kecil yang terbaring lemah di kasur.

"Artha mau tidur, Tante ...," lirih si gadis kecil dan menarik selimut untuk menutupi tubuh mungilnya.

"Enak aja mau tidur, pagi ini kamu harus sekolah. Seenggaknya kalo enggak berguna, kamu jangan jadi perempuan bodoh."

Tangan Artha ditarik paksa untuk berjalan menuju kamar mandi agar membersihkan diri. Begitu sang Tante pergi, bocah kecil itu mulai mengguyur air dingin ke tubuh. Menggigil, dia tidak suka ini, tetapi mau bagaimana lagi? Memberontak pun mustahil.

Artha hidup bersama adik dari sang Ibu, setelah kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas yang membuat mobil sang Ayah terjun ke dalam sungai.

"Artha mau mati juga," lirih Artha setelah mengenakan seragam sekolah di depan cermin, kemudian keluar dari sana.

Sepulang sekolah, Artha berjalan gontai menyusuri jalanan yang mulai sepi. Sang Tante tidak ingin repot untuk mengantar jemput, oleh karena itu dia didaftarkan ke sekolah swasta yang tidak jauh dari rumah.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now