Penyakit Mama

73 24 34
                                    

Artha mengangguk ketika Hidan memberi isyarat untuk masuk terlebih dulu ke ruangan yang tengah ada di depan mereka. Karena pemuda berkamacata itu ingin ke minimarket membeli makanan.

Mulai membuka pintu, tatapan sendu si cantik tertuju ke raga lemah yang terbaring di ranjang rumah sakit. Dia berjalan mendekat lalu duduk di kursi sebelah tempat Sofi tertidur. Sangat pelan meraih tangan pasien yang dirawat, Artha masih tidak percaya dengan keadaan sang Mama sekarang.

Kemarin, tepat pembagian hasil belajar selama satu semester, dia pulang dan mendapati para adik asuh sudah menangis, melihat Sofi yang terbaring tidak sadarkan diri di lantai dapur. Menurut pengakuan Fero, sang Mama berkata hendak memasak makan siang, tetapi tidak berselang lama, terdengar suara jatuh yang sangat keras berasal dari dapur. Salah satu dari perkumpulan bocah segera menelepon ambulan agar datang.

Di dalam otak, Artha masih bertanya-tanya. Apa benar sang Mama hanya kelelahan? Lalu mengapa banyak obat-obatan yang terlihat di laci kamar wanita paruh baya itu? Sofi dan ketiga sahabatnya hanya berkata semua itu adalah penambah stamina. Namun, apa bisa dipercaya? Tidak ada vitamin sampai beberapa tablet untuk sekali minum, 'kan?

Artha mengangkat wajah ketika mendengar suara pintu dibuka. Tampak seorang pria berseragam putih masuk ke sana. Mulai bangun dari duduk, gadis itu pun sedikit membungkuk sebagai sapaan untuk orang yang datang.

"Dok, gimana keadaan mama?" tanya Artha khawatir.

"Penyakit mama kamu semakin parah," ujar sang dokter melihat netra bulat si lawan bicara.

"Penyakit? Bukannya mama cuma kelelahan?"

"Apa kamu belum diberitahu sama teman-teman kamu?" tanya sang dokter yang mendapat jawaban gelengan oleh Artha.

Setelah menghela napas kasar, sang dokter meminta Artha untuk ikut dengannya keluar dari sana. Tiba di ruangannya, gadis itu pun mendengar semua penjelasan yang dipaparkan secara rinci.

Dada Artha sesak, semua perasaan menyatu di dalam hati kini. Sedih, marah, dan kecewa bercampur hingga membuat dia lemah. Penyakit yang sudah berbulan-bulan bersarang di dalam diri sang Mama baru diketahuinya sekarang, bahkan itu tidak dari Sofi dan para sahabat secara langsung.

"Kanker otak ...," lirih Artha dan berjalan ke luar dari ruangan sang dokter.

Kembali melangkah menuju tempat sang Mama dirawat, dia menatap kosong pintu sebelum knop diputar. Artha masuk ke sana dengan mata yang sejak tadi membendung sungai di pelupuknya, sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Mama ...," ucap Artha sambil melihat Sofi.

"Artha?" panggil Hidan yang baru saja ke luar dari kamar mandi di sudut ruang.

"Lo kenapa?" tanya pemuda itu lagi dan berjalan mendekat.

Dia memegang bahu Artha, kemudian menangkup wajah si sahabat cantik yang sudah dibanjiri air kesedihan.

"Idan ... kenapa bohong?" lirih Artha sambil terus tersedu.

"Bohong? Kapan?"

"Penyakit mama, gue tau semuanya, Idan." Artha mengempaskan tangan Hidan yang ada di wajahnya.

"Kita bicarain ini di luar, ayo!" ajak Hidan lalu menarik pergelangan lawan bicaranya agar keluar dari sana.

Sementara itu pada tempat lain, Relan sudah berdiri di salah satu rumah besar yang ada di pusat kota. Dalam hati sedikit gusar, apa kedatangannya ke tempat itu akan disambut hangat? Ah, tidak! Dia lebih berharap sang pemilik memberikan apa yang diinginkan sekarang juga.

"Tuan Muda, mari masuk. Tuan Besar ada di dalam," ucap seorang pria tua, kemudian mempersilahkan Relan untuk masuk usai membuka pintu.

Mulai melangkah ke dalam, Relan melihat sekeliling tempat, tidak ada yang berubah sejak terakhir kali dia datang ke kediaman sang Ayah. Megah dan mewah, tetapi sepi, sunyi, serta hening memenuhi bangunan tempatnya berada sekarang.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now