Elan Itu Masih Kayak Bunga Matahari

59 27 35
                                    

Relan melihat ke luar melalui jendela bis yang ditumpangi bersama Tata. Seulas senyum terukir di wajah tampan itu, mengingat hari ini terasa sangat menyenangkan bisa memainkan semua wahana dengan sahabat masa kecilnya.

Sedikit tersentak saat merasa sesuatu menyentuh bahu, Relan pun menoleh ke samping, tampak Tata tertidur di pundaknya. Mulai mengulurkan tangan yang bebas, dia menyelipkan rambut gelombang itu ke belakang telinga si pemilik.

"Pasti kecapean," gumamnya sambil terkikik geli.

Sementara itu di taman. Artha sedari tadi sibuk dengan anjing kecil yang sudah terlihat sehat dan bisa berlari. Sesekali melempar ranting untuk mainan si peliharaan.

Di sisi lain, Yandra hanya tersenyum lebar melihat Artha yang begitu senang dengan anak anjing kecil yang dibawanya. Namun, tidak bertahan lama, senyum itu luntur kala merasakan hawa dingin menyelimuti belakang leher.

Yandra memandang ke kiri, tampak Hidan melihatnya dengan tatapan membunuh. Entah sejak kapan pemuda berkacamata itu mengarahkan pandangan mematikan tersebut.

"Kalo lo liatin gue gitu terus, gue yakin kacamata lo bakal retak," ledek Yandra dan meringis pelan.

"Bahkan gue berharap mata gue ada laser sampe bikin kepala lo bolong," balas sang Adik dan membuang pandangan ke arah Artha.

Hidan menghela napas, memijat kening dengan ibu jari dan telunnjuk. Dia berusaha untuk bersikap biasa, tetapi setiap kali mengingat wajah sedih Artha malam itu, rasanya tidak bisa memaafkan Yandra begitu aja. Pemuda itu sudah merelakan si sahabat cantik untuk pergi bersama orang lain agar merasa bahagia. Namun, semua tidak berjalan seperti yang diharapkan.

"Maafin gue, Dani," lirih Yandra pelan, tetapi masih bisa didengar Hidan.

"Lo tau enggak, Artha itu memang mudah ketawa, tapi juga gampang sedih? Selama ini, sebisa mungkin gue, Ralan, dan Relan selalu jagain Artha supaya enggak sakit hati atau sampe nangis cuma karena cowok ...," jelas Hidan, menjeda ucapannya beberapa detik.

"Kita bertiga selektif banget buat setiap cowok yang dekatin Artha. Tapi, karena lo orang yang pertama kalinya bikin Artha sampe minta tolong sama gue. Jadi gue pikir enggak masalah, gue kenal dan tau lo gimana. Rasanya enggak mungkin cowok selembut dan sebaik lo nyakitin dia," imbuhnya lagi masih dengan mata yang tertuju ke objek perbincangan.

"Maafin gue, Dani. Gue sama sekali enggak ada maksud untuk nyakitin Artha kayak gitu. Tapi ... apa lo enggak pernah mikir satu hal. Di antara lo dan dia, siapa yang lebih penting?" tanya Yandra yang berhasil membuat si lawan bicara menatapnya.

"Maksud lo?"

"Dani, semua orang yang lihat sikap lo ke Artha pasti sadar, kalo lo suka dia lebih dari sahabat. Menurut gue, daripada lo berusaha bahagiain Artha dengan ikhlasin dia untuk cowok lain. Kenapa lo enggak coba bahagiain dia dengan perasaan yang lo punya," ujar Yandra dengan tersenyum.

Usai mengalihkan pandangan dari sang Kakak, Hidan kembali menatap Artha yang sekarang tengah melambai ke arahnya. Dia mengangkat tangan, membalas sapaan sambil sedikit menyunggingkan senyum tipis.

"Idan! Guguk kecil guling-guling kayak lo masih kecil dulu!" teriak Artha antusias.

"Jangan samain gue sama anjing, oi!" sahut Hidan menaikan intonasinya.

Tertawa pelan Yandra. Dia pikir Hidan menyukai Artha lebih dari yang dibayangkan. Ada sedikit sesal di dalam hatinya karena sudah mengiyakan permintaan sang Adik untuk mendekati gadis itu dulu.

"Kalo gitu gue balik, Dani. Ah, ya! Setelah ujian gue mau ke luar negeri," ucap Yandra dan bangun dari duduknya.

"Ngapain?"

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now