Gue Bukan Bunga Matahari Lagi, Ta ....

72 24 37
                                    

Di minimarket yang berdekatan dengan rumah sakit, tampak seorang gadis sedang kebingungan memilih mi instan untuk dibeli. Dari mulai kemasan bewarna putih hingga hijau, semua sudah dirasakan. Mencari sesuatu yang berbeda, itulah yang diinginkan, pecinta pedas sepertinya tidak mungkin puas hanya dengan rasa soto atau kari ayam, 'kan?

Sampai pada akhirnya, pilihan tertuju ke mi instan berbungkus hitam. Mulai sosok itu membawa ke meja kasir dan membayar belanjaan setelah mengambil satu kotak susu pisang berukuran sedang.

"Isi pulsanya, Mbak?"

"Ah, enggak, Mas. Pulsa saya masih banyak," tolaknya halus dan membawa kantung plastik putih ke luar.

Sambil melangkah menjauh, tatapan gadis berambut gelombang itu sibuk melihat suasana malam yang sedikit sunyi, mengingat sudah pukul sembilan sekarang. Dia mengerutkan kening, wajah yang sedari tadi tidak menampilkan ekspresi, berganti riang ketika seorang pemuda yang dikenal berjalan ke arahnya.

"Elan!"

"Tata?" gumam pemuda itu setelah mengangkat pandangan dari jalanan.

Gadis bersurai gelombang berlari kecil menghampiri Relan dengan tersenyum, tetapi lengkungan bibir itu hilang kala melihat netra si sahabat masa kecil yang tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang hilang dari sana, pikir Tata.

"Elan, kenapa?"

Usai menghela napas, Relan memandang iris mata Tata tanpa menjawab pertanyaan. Dia meraih tangan mungil si lawan bicara, menarik lembut hingga sang pemilik maju beberapa langkah. Pemuda itu kemudian meletakkan kepala ke atas bahu orang yang ada di depannya sekarang.

"El-Elan? Kamu baik-baik aja?" Tata berujar selepas menelan ludah berat.

"Gue bukan bunga matahari lagi, Ta. Gue enggak bisa bantu cari uang untuk pengobatan mama, gue enggak guna, Ta. Gue ... gue capek," lirih si pemuda bersurai legam sendu.

Relan tersedu di bahu Tata, membuat baju yang dikenakan gadis itu basah dalam sekejap. Dia merasa sesak, dada dipenuhi sakit dan kecewa terhadap sang Ayah. Bagaimanapun harus mencari cara agar ibunya bisa sembuh, tetapi apa? Relan tidak bisa berpikir lebih dari ini, sejak awal sudah mencari beberapa pekerjaan paruh waktu, bahkan tanpa sepengetahuan orang yang ada di panti. Namun, itu tidak cukup untuk membantu.

"Kamu hebat, Elan. Enggak semua orang bisa kayak kamu. Sekarang kamu capek, jadi istirahat dulu. Elan tetap bunga matahari yang terang, kok," ujar Tata sambil mengelus pelan punggung si lawan bicara.

Pada waktu bersamaan, Artha dan Ralan duduk di taman belakang panti setelah menidurkan semua adik-adik. Tidak ada perbincangan berarti sejak tadi, kecuali tatapan sendu menyelimuti mata kedua remaja sebaya itu.

"Jadi kita harus gimana? Tadi juga sebelum masuk ke kamar mama, Idan udah ditagih uang administrasi," ujar Artha gundah.

"Gue ada tabungan hasil jual kue, Bang Elan juga ada uang gajian kerja paruh waktu. Mungkin enggak cukup, tapi bisa nutupin dulu. Nanti kita cari lagi solusinya," jelas Ralan sambil mengutak-atik kalkulator di atas meja.

Suara notifikasi dari ponsel, membuat Ralan sedikit memanjangkan leher untuk melihat nama sang pengirim pesan.

"Biaya pengobatan mama udah lunas!" pekiknya riang kala sudah membaca pesan di sana.

***

Pada esok hari, Artha bersama semua penghuni panti datang ke rumah sakit. Menurut cerita Ralan, setelah Hidan mengirimkan pesan, Mama meminta para Anak asuhnya untuk datang ke ruang rawat sore ini.

Seperti yang dikatakan dokter, jumlah orang yang bisa menjenguk Sofi masih dibatasi, tidak boleh terlalu banyak karena takut menganggu kenyamanan orang yang dirawat.

Selaku yang pertama dipanggil, Relan pun masuk setelah memutar knop pintu. Usai menutup dari dalam pemuda itu melangkah menuju tempat sang Mama beristirahat.

"Mama," panggilnya pelan, kemudian duduk di bangku tempat si sahabat berkacamata beberapa detik lalu.

"Kalo gitu gue ke luar dulu," pamit Hidan yang dijawab anggukan oleh Relan.

Sangat lembut meraih tangan sang Mama, Relan mengecup punggung tangan Sofi beberapa kali. Dipandangnya mata cekung dan wajah pucat itu dengan pilu. Dia tersenyum, tetapi kesedihan dapat terlihat jelas dari sorot netra pemilik surai legam tersebut.

Sambil terus mengelus jemari lentik sang Mama, Relan menyusuri wajah di hadapannya kini. Hidung itu disumpal selang kecil yang dia sendiri tidak tahu entah dinamakan apa. Rambut cokelat gelap Sofi tidak berubah banyak dikarenakan enggan menjalani kemoterapi.

"Mama kuat, terima kasih udah bertahan sejauh ini," ucapnya lalu mengelus tangan di dalam genggaman.

"Hm, terima kasih udah temani Mama sampai sekarang. Kamu dan Alan lelaki terhebat yang Mama punya," balas sang Mama dengan tersenyum hangat.

Sedikit menarik tangan dari genggaman Relan, Sofi mengelus pipi sang Anak yang terlihat sedikit lebih pucat dari biasanya. Mungkin karena beberapa hari ini tidak tidur dengan tenang.

"Jaga semua yang ada di panti, ya? Mama percaya kamu, Elan."

Relan mengangguk lalu menutup mata rapat, berusaha agar air yang dibendung jangan jatuh sekarang. Dia lemah dan sadar akan hal itu, tetapi tidak ingin sang Mama melihat sisi rapuhnya. Sebagai Kakak, bertugas menjaga lalu dilarang mengeluh, begitulah pedoman yang Relan terapkan.

"Jangan terlalu banyak ambil kerjaan, makan teratur, dan rajin belajar. Jangan pernah merokok dan minum-minum, ya? Kalo udah nikah nanti, jangan lupa didik cucu-cucu Mama dengan baik, cintai istri kamu tanpa batas waktu dan yang terpenting, jangan pernah marah sama dia. Mungkin Mama enggak akan sempat lihat kalian menikah, tapi ajak istri kamu ke tempat Mama dengan bunga matahari kesukaan Mama, ya?" pesan Sofi masih dengan memegang sebelah pipi Relan.

"Elan itu terang, siapa aja yang lihat kamu bahagia pasti akan tersenyum, Mama yakin itu. Jadi, jangan lupa bahagia, Elan. Mama sayang Elan, selama ini Mama jadi tempat kamu cerita, kalo Mama udah enggak─"

"Udah, Ma. Jangan terusin," potong Relan dengan menggenggam tangan sang Mama yang ada di wajahnya.

"Kalo Mama udah enggak ada, Elan harus cari tempat bersandar yang lain. Maafin Mama enggak bisa terus sama kamu, Elan."

Sejak awal Relan sudah tahu, peluang kesembuhan Sofi yang tidak mencapai 50%. Namun, bagaimanapun dia dan kedua sahabatnya tidak lelah untuk terus mencari jalan keluar agar sang Mama sembuh. Semua akan terasa sedikit mudah jika mereka mengetahui lebih cepat tentang penyakit wanita paruh baya tersebut, mungkin saja itu bisa disembuhkan.

"Cukup, Ma. Enggak akan ada yang pergi, Mama akan tetap di sini. Mama akan lihat pernikahan Elan, Mama akan dipanggil Oma nanti. Enggak akan ada yang pergi, Ma, enggak ada ...," lirih pemuda itu pilu.

Relan mencapai batas, tidak ada yang bisa menahan tangisnya. Air mata membasahi wajah, dia terus menggenggam erat telapak tangan sang Mama, takut sosok cantik yang terbaring lemah itu akan pergi jauh sewaktu-waktu.

Dada Relan perih, sesuatu di dalam diri terasa hancur hingga tangan yang bebas menarik rambut asal. Fakta tentang sang Mama yang mungkin tidak akan sembuh membuatnya hampir kehilangan waras di akal. Kakak? Haruskah peran Kakak digunakan untuk sekarang? Tidak! Dia tidak sekuat itu.

Relan hanyalah anak laki-laki yang sedih melihat sang Ibu sakit parah, tidak lebih. Sekali lagi, sosok itu lemah, selama ini dia hanya berpura-pura kuat hanya untuk Sofi.

"Elan enggak bisa kalo enggak ada Mama," imbuh Relan dalam tangis sambil mencium punggung tangan Sofi.

.
.
.
.
Bawang banget 😭 hiks aku sad sekali pas tulis ini, aku harap kesedihan sampe ke kalian 😶🤣
.
.
Btw gimana nih, rate kesedihannya? 1-10? 👉👈

My Absurd Best Friends [Tamat]Onde histórias criam vida. Descubra agora