Artha Bertemu Romeonya!

256 74 143
                                    

Hari ini sekolah mengadakan perayaan festival olahraga, terlihat banyak murid duduk di tepi lapangan basket untuk menonton pertandingan antar kelas, sorakan terdengar keras saat bola masuk ke ring. Para siswi juga berkali-kali menyerukan nama para anggota tim yang tampan dan tampak andal ketika mengiring bola.

Jika semua murid duduk di tribun, lain halnya dengan Artha, si kembar, dan Galih. Mereka lebih memilih untuk di bawah, tepat di tepi lapangan. Jangan tanyakan sudah berapa kali wasit meminta mereka pindah, supaya tidak terkena bola basket yang nantinya bisa saja keluar dari garis lapangan. Namun, mereka tidak peduli, semakin dekat menonton pertandingan, maka akan bertambah seru pula, begitulah kata-kata provokasi Galih untuk ketiga orang yang bersama dengannya.

"Oi, Artha, di mana Hidan?" tanya Galih sambil memasukkan camilan ke dalam mulut.

"Sakit perut," jawab Ralan mewakilkan.

"Loh! Kok bisa? Kemaren dia baik-baik aja, deh," tanya Galih dan mengambil beberapa keping keripik kentang, lalu memberikan kepada Relan yang duduk di sebelah kanannya.

"Gara-gara jeruk," sahut Relan sebelum Artha yang duduk di kiri Galih mengeluarkan suara.

"Wa … bisa gitu, ya. Eh! Gue mau beli camilan lagi, nih. Lo pada mau ikutan enggak?" ajak Galih, lalu berdiri dari posisi lesehannya. Relan mengangguk pertanda setuju, sedangkan Ralan memutuskan untuk tinggal bersama Artha.                                                                             
Ralan menggeser bokong agar lebih dekat dengan sahabat cantiknya, sesekali melirik Artha yang masih fokus pada bola basket di tangan pemain basket. Ah, tidak! Lebih tepatnya netra gadis itu menatap kosong 'tak tentu arah.

Kayaknya masih mikirin Idan, pikir Ralan.

Ralan menghela napas, mencari ide untuk mengajak Artha berbicara dan ingin mendengar sorakan semangat selaku penonton pertandingan. Dia selalu berdecih jika gadis di sampingnya itu diam, sangat tidak terbiasa menghadapi mode hening Artha.

"Artha, gue pengen nyusul Bang Elan dan Galih, ya? Lo jangan ke mana-mana sampek kami balik ke sini, ya!" pamit Ralan dan beranjak dari sana saat Artha mengangguk.

Artha menggaruk belakang telinga dengan telunjuk. Dia kembali memikirkan apa yang sudah terjadi pagi ini, akibat ulahnya yang memberikan Hidan jeruk kemarin. Rasa bersalah menghantui gadis itu sekarang, bahkan sedari tadi belum membuka mulut sejak tiba di sekolah.

"Huak! Idan, maafin gue. Gue enggak tau kalo lo bakal makan semua jeruknya malam tadi," rengek Artha sambil menggoyangkan tangan Hidan yang terbaring lemah di kasur.

"Hiks, Bang. Idan mati, ya? Kok matanya enggak buka?" tanya Artha dengan melirik orang yang ada di sebelahnya.

Relan menggeleng, tidak habis pikir dengan cara kerja otak kecil Artha yang selalu saja mengambil kesimpulan seenak jidat. Dia tahu, sahabatnya itu adalah gadis yang paling takut dengan apa yang dinamakan kematian, tetapi bukan berarti bisa menganggap Hidan tiada hanya karena tidak membuka mata, ‘kan?

"My Little Princess, tenang. Idan cuma istirah─"
Perkataan Relan terhenti ketika mata mendapati Hidan yang sudah terjaga. Segera ia duduk di tepi ranjang sahabat bermata rabun jauhnya itu.
"Kalian berisik," ucap Hidan pelan dengan bibir bergetar.

Artha masih sesenggukan, mengusap dagu dengan punggung tangan untuk menghapus air yang mengalir deras beberapa detik lalu.

"Lo nangis?" Itulah yang dikatakan Hidan saat menoleh ke kiri.

"Dia pikir, lo mati," ujar Ralan dengan sedikit isakan.

Hidan mengalihkan pandang ke sebelah kanan. Tampak Ralan menutup wajah dengan kedua tangan, menghapus jejak air yang turun melalui pipi. Oh, ayolah! Sedari tadi ternyata dia juga tidak kalah sedih dibanding Artha. Rasa penyesalan menyelimutinya, karena merasa ikut andil dalam mengelabui si penjual buah kemarin.
Hidan menarik napas dalam dan membuang perlahan, mulai mengangkat tangan untuk menggapai puncak kepala kedua orang yang sudah bersimpuh di sisi ranjangnya.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now