Kuisioner Masa Depan

63 30 28
                                    

Dua hari sebelum ujian, semua murid tampak sibuk dengan buku dan wawancara yang dilakukan guru konseling tentang pengisian kuisioner. Sekarang, sudah tinggal beberapa siswa lagi yang tersisa untuk melakukan tanya jawab di ruang kesiswaan.

Artha duduk sambil memegang lembar kertas yang sudah diisi, melihat ke luar jendela sambil menumpang dagu dengan tangan kiri. Mulai dia terpejam, menikmati angin yang masuk melalui teralis.

"Artha, giliran lo!" teriak ketua kelas dari ambang pintu, berhasil membuat yang dipanggil tersentak.

Setelah bangun dari duduk, Artha melangkah menuju ke luar sambil melihat si kembar dan Galih sekadar meminta semangat. Baginya, sesi wawancara terasa begitu berat, bahkan memandang para teman dekat mengepalkan tangan pun masih belum cukup.

Artha berjalan menuju ke arah ruang guru dengan memegang erat kuisioner. Setiba di tempat sesi tanya jawab berlangsung, dia meraih knop pintu di depannya sambil menelan ludah berat.

"Syut! Semangat."

Artha terhenti dan menoleh ke kanan, melihat seorang pemuda berkacamata tengah mengacungkan jempol ke depan wajahnya.

"Idan?" gumam Artha lalu tersenyum, kemudian mengangguk dan memutar knop.

Gadis tersebut melangkah masuk, kembali menutup pintu dan meletakkan kertas yang dibawa ke atas meja yang berhadapan langsung dengan seorang wanita paruh baya. Sosok berseragam cokelat itu tersenyum, kemudian mengambil kuisioner milik Artha dan membaca setiap jawaban di sana.

"Halo, Arthara," sapa sang guru ramah lalu memberi isyarat agar Artha duduk di bangku berseberangan dengannya.

"Selamat siang, Bu Dina."

"Jadi, Arthara, saya udah baca kuisioner yang kamu isi. Saya senang karena sebelumnya wali kelas kamu sempat mengeluh tentang kamu yang bingung dengan semua pertanyaan di kertas ini. Apa kamu ada masalah waktu mengisinya, Arthara?" tanya Dina kepada sang murid dan kembali meletakkan kertas di meja.

"Um ... an–anu, Bu. Sebelumnya saya agak sulit waktu pengisian bakat, saya merasa enggak punya kelebihan apa pun. Selama ini, saya cuma berlindung di belakang sahabat-sahabat saya. Saya pikir di masa depan jika mereka enggak ada, saya enggak tau harus ngapain. Tapi, setelah bicarain ini sama Idan, saya yakin dengan jawaban yang udah ditulis," jawab Artha lalu tersenyum lebar.

Sementara itu di ruang sebelah. Tampak seorang guru masih dengan teliti membaca kuisioner yang ada di meja, kerut yang sedari tadi ada di kening tidak kunjung hilang karena sudah hampir lima menit, tidak ada jawaban apa pun di dalam lembar dari milik murid yang sekarang duduk di depannya.

"Jadi, Hilya, kamu enggak isi ini?" final sang guru setelah menghela napas.

"Saya isi yang pertanyaan terakhir, Pak," jawab Hidan dan menunjuk ke arah kolom pertanyaan, 'apa yang ingin Anda lakukan di masa depan?'

"Bebas? Kamu cuma jawab satu kata itu, Hilya," ujar sang guru tidak percaya.

"Hm, saya ingin bebas menentukan pilihan saya, Pak, itu aja, enggak ada yang lain. Soal saya akan menjadi apa di masa depan, saya pikir akan ikuti jalan yang udah ditentuin orangtua," sahut Hidan sambil menatap kosong ke arah kertas miliknya.

Sedikit mengacak rambut asal, guru berkumis tipis itu hanya memberikan pena kepada Hidan, berharap si pemuda berkacamata untuk mengisi kolom yang masih kosong. "Kalo kamu masih belum bisa isi semua, saya pikir kamu perlu bicarain ini dengan orangtua kamu, Hilya," ucapnya untuk akhir percakapan wawancara mereka.

Hidan bangun dari duduk, membungkuk sebentar, dan melangkah menuju pintu sambil membawa pemberian sang guru. Namun, dia berbalik ketika namanya disebut.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now