Semua Berjalan Semestinya

68 22 45
                                    

Seorang wanita berdiri di depan nisan bertuliskan; Sofia Putri Anggara. Terlihat beberapa tangkai bunga matahari dalam genggaman itu, seulas senyum terbit di wajah mungil berpoles riasan tipis tersebut, jemari lentik yang bebas menyelipkan anak rambut lurusnya ke belakang telinga dengan perlahan. Dia berjongkok dan meletakkan bunga ke sebelah pusara, mulai mencabut rumput, menyiram air, dan tidak lupa berdoa agar sang Mama tetap bahagia dan tenang di alam sana.

"Ma, apa kabar? Artha sehat dan begitu juga dengan Bang Elan, Alan, Tante Safa dan adik-adik yang ada di panti. Artha pindah dari panti setelah dapat gaji pertama jadi pembawa acara di salah satu siaran televisi. Ma, menjadi dewasa itu berat, setelah Mama tinggalin Artha, Idan juga pergi sepuluh tahun lalu," ujar si wanita berambut lurus sambil memeluk lutut, kemudian menumpang dagu di dengkul.

Semua berlalu dengan cepat, sepuluh tahun Artha sudah berusaha untuk terus melupakan Hidan. Sekarang, dia adalah wanita dewasa yang menghadapi kerasnya dunia kerja dan bertemu banyak orang yang sulit untuk dimengerti.

Sedikit menghela napas, kemudian bibir mungil itu melengkung ke atas. Dia tidak boleh terlihat lemah sekarang. Sang Mama yang ada di sana akan berpikir dirinya hidup menderita selama ini.

"Ma, seseorang datang ke hidup Artha, kemudian pergi tanpa bilang sampai nanti, tapi malah selamat tinggal. Apa itu berarti enggak akan pernah bertemu lagi? Ma, menjadi dewasa itu ternyata beneran sulit, jam tidur semakin sedikit dan waktu luang hanya untuk istirahat. Artha harap Mama ada di sini untuk ada di sisi Artha dan kasi semangat sambil tepuk lembut kepala Artha. Ma, semua berjalan lancar semestinya, dimulai dari Alan dengan toko kuenya dan Bang Elan yang jadi pegawai kantoran dengan gaji besar, tapi enggak ada kemajuan dengan perasaan Artha. Bukan enggak berusaha, Ma, tapi kayaknya masa lalu enggak ada niat untuk lepasin Artha atau ... memang Artha yang enggak bisa lepasin kenangan pahit itu?"

Artha mengelus nisan sang Mama lembut dan tangan satunya memegang dada yang terasa sedikit sakit sekarang. Selama ini dia tidak pernah menceritakan keluh kesah kepada siapa pun lagi, kecuali di depan makam Sofi.

"Ma, setelah bertahun-tahun pergi, Idan sama sekali enggak ada hubungi Artha. Artha datang ke rumah besarnya, tapi penjaga di sana bilang Idan dan keluarganya pindah ke luar negeri. Apa dia marah atau dia nutupin sesuatu dari Artha? Ma, jujur Artha bingung, semua orang tampak berubah dan maju, tapi enggak dengan Artha. Seluruh kenangan bersama Idan enggak bisa Artha hapus gitu aja, rasanya sakit banget waktu Idan ingkar janji masa kecil kami. Apa Artha berlebihan, Ma?"

Getaran ponsel membuat Artha menghentikan perbincangannya dengan sang Mama, segera dia meraih benda yang ada di tas dan menjawab panggilan setelah melihat nama Relan ada di sana.

"Halo?"

"Di mana? Bisa ke sini sekarang? Gue butuh bantuan," ujar suara panik di seberang sana.

"Okay, gue ke sana. Kirim lokasi aja," jawab Artha dan memutuskan panggilan.

Kembali menatap makam Sofi, Artha pun berdiri dari posisinya. Setelah memberikan salam dengan sedikit membungkukkan tubuh ke tempat peristirahatan sang Mama, dia pergi dengan berpikir bahwa hari yang baik akan terjadi secepat mungkin.

Sementara itu di lain waktu, Relan tengah duduk pada salah satu meja yang berdekatan dengan sebuah kencan buta tengah berlangsung. Sesekali dia mengintip dari buku menu yang ada di tangan, berusaha melihat interaksi di antara dua orang yang sejak tadi dipantaunya.

Usai melihat jam, Relan sedikit berdecih karena Artha datang jauh lebih lama dari perkiraan. Dia tidak bisa sendirian terus di sini. Karena menjadi mata-mata bukanlah bidang keahliannya sejak duduk di bangku SMA. Bukankah Artha memiliki bakat alami? Mengingat mereka pernah mengintai Ralan dulu.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now