Adopsi

142 56 99
                                    

Artha dan Hidan tengah duduk di ayunan besi yang ada di sebelah bangunan panti. Sambil menikmati es krim, mereka seolah saling tidak ingin diganggu kesenangannya meski hanya untuk berbincang saja.

Tampak Artha mulai mengangkat cup ke atas mulut, mencoba menyentuh dasar tempat mini itu dengan lidahnya. Sedangkan Hidan, dia hampir saja tersedak melihat tingkah laku si sahabat cantik yang masih saja belum berubah.

"Hari ini sepi," ujar Artha, memberikan tempat bekas makanan beku miliknya kepada Hidan.

Hidan mengangguk sebagai jawaban, diletakkannya pemberian Artha di sebelah. Setelah mengambil tisu dari kotak yang ada di pangkuan, segera Hidan menarik dagu gadis di sampingnya agar menoleh.

"Sini!" titah Hidan, kemudian meletakkan es krim miliknya bersebelahan dengan cup milik Artha.

"Ini makan gimana, sih? Kok bisa sampek ke dagu gini, ngalahin bocah," omel Hidan, tetapi tangannya terus membersihkan bibir Artha.

Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Artha. Dia tersenyum lebar melihat Hidan dalam mode cerewet. Bagi gadis itu, si sahabat berkacamatanya seperti seorang ibu yang penuh dengan kasih sayang.

"Idan," panggil Artha, seusai Hidan membersihkan tangannya sendiri.

"Hm?"

"Kalo suatu hari nanti di antara kita ada yang diadopsi, apa yang bakal kita lakuin?"

Pertanyaan Artha membuat Hidan terhenti. Di dalam pikirannya memang selalu mengutamakan persahabatan mereka, menyayangi semua anggota yang ada di panti adalah kewajiban.

"Kita bakal pisah. Lo pikir kita bisa apa lagi? Kita cuma anak sekolahan yang ikuti kata orang dewasa," jawab Hidan dan menoleh, melihat Artha yang melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Jawaban lo enggak pernah beda, Idan. Apa sebegitu malasnya lo tinggal bareng sama gue?" tanya Artha dengan alis yang ikut turun.

"Gue enggak pernah bilang gitu, Iblis Kecil. Gue realistis, selama 10 tahun lebih nyatanya enggak ada yang mau adopsi kita berdua. Lain hal dengan Relan dan Ralan yang anak kandung mama, udah sewajarnya mereka di sini. Tapi ... kita beda," balas Hidan setelah menghela napas dan mengacak rambut bagian belakangnya.

Artha menunduk, enggan menatap sahabat berkacamatanya lebih lama lagi. Di dalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan Hidan, tetapi tidak bisa dipungkiri jika sebuah perpisahan akan terasa memilukan suatu hari nanti. Gadis itu menyayangi si pemuda berkacamata, tidak berniat sedikit pun untuk berpisah, bahkan rela tidak mengiyakan pengajuan adopsi ketika masih kecil dulu.

"Artha enggak butuh keluarga lain, Ma. Ini tempat Artha, ini keluarga yang harus Artha jaga."

Benar. Seperti itu yang Artha inginkan, menjaga semua yang ada di panti tanpa terkecuali. Tidak boleh ada yang pergi, ingin sekali dia mengatakan itu kepada setiap anak asuh. Namun, tidak mungkin! Gadis bersurai lurus itu tidak boleh egois, perpisahan memang menyakitkan, tetapi melihat kesedihan dari anggota keluarga jauh lebih buruk baginya.

"Artha!" Teriakan serentak dari si kembar membuat Artha dan Hidan tersadar dari pikiran rumit mereka.

"Kenapa?" tanya Hidan ketika Relan dan Ralan sudah duduk di kursi ayunan yang ada di depannya.

"Artha, kami bawa berita!"

Lagi. Si kembar tampak tersenyum girang dan berbicara dengan kompak, apa mereka sudah merencanakannya? Ah! Tidak, anggap saja jika itu terjadi karena mereka pernah di satu janin dalam waktu yang sama pula.

"Ada apa, sih?" Hidan kembali melontarkan pertanyaan dengan alis yang terangkat sebelah.

"Idan, jadi hari ini kami setelah pulang sekolah ikutin si Yandra ...," ujar Relan sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Dan akhirnya kami tau di mana alamat rumahnya!" pekik Ralan penuh semangat, bahkan dia mengangkat kedua tangannya.

Senyuman Artha terbit sangat lebar, menunjukkan deretan gigi rapi dan pipi gembul itu. Dia merasa senang sahabatnya benar-benar berniat untuk menuruti keinginannya kemarin, meski sempat tidak setuju.

"Kami bakal bantu kalo dia beneran cowok baik. Biar kami kenal dia dulu sebelum lo jadian sama dia." Artha sangat ingat perkataan Ralan tersebut.

"Makasih banyak, Bro! Kalian udah bantuin gue," ucap Artha semangat dan memberi tos ke si kembar.

Sedikit menoleh memandang gadis yang ada di samping, Hidan kemudian melihat dua orang yang ada di depannya. Tatapan tajam mengarah ke salah satu di antara si kembar, entah apa yang dipikirkan pemuda berkacamata itu saat ini.

***
"Kita bakal bareng terus, 'kan? Idan juga udah janji."

Kalimat itu terngiang di kepala Hidan selama jam pelajaran berlangsung. Kata-kata Artha ketika mereka masih kecil dulu terekam jelas di dalam kepala. Hidup terus di panti? Dia menginginkan itu, bahkan lebih dari siapa pun.

Sedikin mengembuskan udara lalu Hidan mulai membalik halaman bukunya, mencoba untuk fokus pada penjelasan guru yang ada di depan kelas sekarang.

"Idan ...." Terdengar suara bisikan dari arah jendela, tepat di sebelah Hidan duduk.

"Idan ...." Lagi. Hidan tahu benar suara siapa itu, tentu saja dia bisa mendengarnya, tetapi berusaha keras agar tetap fokus pada papan tulis.

"Idan ... gue an-anu, itu."

Seolah mengerti maksud perkataan dari si pembisik, dengan sedikit terburu-buru Hidan meraih jaket yang ada di dalam lacinya.

"Pak, saya boleh permisi ke kamar mandi?" tanya Hidan dengan mengangkat sebelah tangannya.

Sang guru yang ada di depan kelas mengalihkan pandangan dari buku di tangan. Di detik selanjutnya, ia mengangguk pertanda mengijinkan. Melihat hal itu, segera Hidan melangkah ke luar.

Hidan mendengus kesal ketika melihat Artha yang berjongkok di samping kelasnya. Gadis itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

"Berdiri," titah Hidan yang dituruti Artha.

Sedikit pelan, Hidan meraih tangan Artha. Membawa gadis itu ke belakang kelas, kemudian mulai dia mengikat jaket yang dibawa ke pinggang ramping di depannya.

"Udah tembus?" tanya Hidan yang dijawab gelengan oleh Artha.

"Kalo udah dekat tanggalnya, seharusnya bawa pembalut. Terus kenapa selalu ngadu ke gue, sih?" kesal Hidan, tangannya masih merapikan sisi jaket yang dianggap berantakan.

"Kelas lo yang paling dekat sama kamar mandi," ujar Artha sambil memainkan rambut Hidan.

Setelah dirasa cukup rapi, Hidan kembali berdiri tegak dan menjentikkan jari tepat di dahi Artha, membuat si empu sedikit meringis. "Lain kali gue enggak mau bantu, udah sana balik!" usirnya kasar.

Artha terkikik geli mendengar perkataan dari Hidan. Entah sudah keberapa kali pemuda itu mengutarakan hal demikian. Namun, dia selalu datang menolong meski menyusahkan dirinya sendiri.

Sambil melambaikan tangannya Artha berlalu dari sana, meninggalkan Hidan yang menatap punggung mungil itu dari belakang.

Tanpa disadari keduanya, sepasang mata tengah menatap mereka dari jendela unit kesehatan sekolah. Sebuah senyuman terbit dari sang pengamat ketika melihat lengkungan bibir ke atas dari objek pemandangan.

"Gue senang, lo bahagia," ucapnya, kemudian kembali menutup tirai jendela.

.
.
.
Halo semuanya 😗❤️ jangan lupa tinggalkan jejak, makasih udh baca ini yak ♥️
.
.
Selamat beraktivitas untuk kita semua, semoga terus selalu sehat yak😗😗

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now