Penyelidikan Ralan

152 49 137
                                    

Ralan duduk bersimpuh di depan tangga tentu saja bersama Artha yang ada di sampingnya. Ah, ya! Jangan lupakan sang Kakak yang berdiri di sebelah pemuda berkacamata. Baiklah, anggap ini seperti kedua orangtua yang memarahi anak mereka, dengan Hidan berperan sebagai ibu dan Relan menjadi ayah.

Si pemuda berambut cokelat gelap menelan ludah berat ketika melihat orang di depannya penuh amarah. Sedangkan Artha, dia terus menatap si pemuda berkacamata sedari tadi, menghitung jumlah motif bunga di apron merah muda yang dikenakan Hidan.

"Jadi, ini udah terjadi dua kali dalam seminggu. Pertama, topi yang hilang dan kedua dasi. Ralan, lo enggak biasanya gini, kalo Artha gue paham, dia otaknya sekecil biji kopi. Tapi lo enggak pernah kayak gitu. Jadi, kasi tau gue alasannya," ujar Hidan dengan menodong sendok masak, tepat di depan wajah Ralan.

Relan mengangguk pelan, pertanda setuju dengan jawaban orang yang ada di sebelahnya. Benar, tidak biasanya Ralan begini, mereka juga tahu itu. Namun, minggu ini terjadi sesuatu yang membuat bingung.

Ralan menggaruk tengkuk yang 'tak gatal. Dia sendiri sulit menjelaskan apa yang terjadi, tidak mengerti mengapa beberapa hari ini banyak barang miliknya yang hilang entah ke mana, bahkan buku catatan dan pena berkarakter imut pun ikut raib.

"Dan lo, Artha. Bukannya udah gue bilang, ya? Kalo datang ke kelas gue jangan pernah curi apa-apa! Jadi, kenapa lo malah bawa pulpen temen kelas gue? Bikin malu aja, sih. Akhirnya mereka nagih ke gue," imbuh Hidan lagi dan mengalihkan apa yang dipegang ke depan wajah Artha yang menatap apron merah mudanya.

"Idan, gue enggak curi. Gue cuma mungut, curi dan mungut itu beda. Mereka enggak bawa pulang pulpen mereka setelah bel pulang. Waktu gue ke sana buat jemput lo kemarin, gue lihat banyak tersusun dalam satu tempat di atas meja guru. Kalo emang mereka sayang sama itu benda, seharusnya dibawa. Gue ini hanya pencari rejeki, seorang pemungut pena dengan wajah imut dan cantik. Masa lo tega tuduh gue jadi maling?" kilah Artha panjang lebar dengan telunjuk yang disatukan, membuat Relan terkikik geli mendengar jawaban darinya yang dianggap menggemaskan.

"Artha, gelas besar yang ada di meja guru itu memang sengaja ada di sana. Wali kelas minta kami untuk simpan pulpen di situ, dan lo malah ambil waktu gue ke kamar mandi? Ya, Tuhan! Artha ... bahkan kata yang piket lo enggak merasa bersalah waktu dilihat sama mereka. Mereka takut ngelarang lo karena sering lihat lo cekek-cekek dan pukul gue kalo di kelas," terang Hidan sambil memijat dahi dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Jadi emang sengaja di situ, ya? Baiklah, Yang Mulia Idan, hamba akan kembalikan semua pena milik teman sejawat Anda." Artha mulai membuka ranselnya, merogoh dan mengeluarkan satu kantung plastik hitam besar, kemudian diberikan kepada Hidan.

Hidan menghela napas kasar. Entah bagaimana Senin malamnya diganggu dengan segala notifikasi teman sekelas yang meminta Artha mengembalikan pena, ditambah Ralan yang pulang dari kelas malam, kemudian mengadu kehilangan beberapa atribut sekolah. Meresahkan, satu kata itu mewakili apa yang terjadi sekarang.

Hidan meminta Relan untuk membantu. Dia menyerahkan plastik pemberian Artha itu kepada pemuda di sebelahnya tersebut.

"Oke, buat Artha, lo udah bebas, berdiri, dan sana pergi ganti baju!" titah Hidan dengan menggerakkan sendok masaknya ke atas bahu Artha, seperti seorang raja yang memberi berkat kepada rakyat jelata. Dapat dibayangkan, bukan?

Artha berdiri perlahan kemudian pergi dari sana, meninggalkan Ralan yang menatapnya penuh harap, agar ingin kembali untuk menemani.

Artha menggeleng saat membalas pandangan Ralan. Jangan harap dia mau. Meski setia kawan, tetapi amarah Hidan sekarang begitu mengerikan menurutnya, bagai rubah ekor sembilan di serial animasi Naruto.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now