Alan, Kita Enggak Akan Ketemu Lagi

72 30 36
                                    

Di atap sekolah, Artha bersama para sahabat ditambah dua orang lainnya tengah makan sambil berbincang tentang persiapan ujian. Sesekali terdengar omelan dari Hidan karena mendapati nasi keluar dari mulut gadis itu yang berbicara pada saat penuh.

"Tata, kenapa enggak kasi kabar kalo di sini?" tanya Artha setelah menenggak minumannya.

"Hm, maafin aku, Artha. Aku enggak mau kalian tau kalo aku di kelas juga dirundung sama Gina kayak waktu kita TK dulu," jawab Tata, menyodorkan satu kotak susu rasa pisang untuk si lawan bicara yang duduk kanannya.

"Wah, wah. Penyogokan ini," ledek Relan diiringi tawa.

"Ha ... gue pikir enggak masalah lo mau dirundung atau gimana, Ta. Kita sama-sama dan bakal jagain lo," ujar Hidan sambil mengelap tangan Artha dengan tisu.

"Gue enggak kenal sama si Tata ini, sebelumnya gue sempat kaget dengan berita Ralan punya pacar, si Alina. Sekarang, Tata? Kenapa pertemanan kalian semakin luas aja?" keluh Galih sambil mengunyah.

Pada saat semua orang tengah berbincang. Alina hanya diam sambil menyantap roti yang ada di tangan, sikap hening itu berhasil membuat pemuda di sampingnya menautkan alis.

Ralan mengambil tutup tempat makannya, meletakkan beberapa potong sosis goreng dan telur gulung, kemudian memberikan kepada Alina. Dia menyadarkan gadis itu dari pikiran yang entah sudah menjelajah ke mana.

"Makan," titah Ralan lalu mengalihkan pandangan cepat usai Alina melihatnya.

"Ha?" Alina melongo, berkedidip beberapa kali, kemudian melihat apa yang ada di tangan.

"Gu-gue liat lo agak kurusan dan enggak napsu makan. Sebentar lagi ujian, enggak boleh sakit," ucap Ralan masih belum melihat lawan bicara.

"Aw ... Alan pake malu-malu gitu kasihnya. Lihat, tuh mukanya merah kayak abis digampar," goda Artha yang saat itu sadar dengan perbincangan dua insan di depannya.

Hidan yang ada di samping Artha menjitak kepala gadis itu pelan. Dia memberi isyarat agar diam sebab sangat tahu, bahwa Ralan pemuda yang pemalu. Jika Artha menggodanya seperti sekarang, pasti si pemuda berambut cokelat tidak akan pernah lagi menunjukkan perhatian secara terang-terangan.

"Bel kayaknya udah mau bunyi, harus balik duluan, nih! Relan, Tata, Galih, dan lo juga Iblis Kecil, kita pergi dari sini!" ajak Hidan segera merapikan tempat bekal dan menarik tangan Artha untuk ikut dengannya.

Seolah paham maksud Hidan, Relan bangun dari duduknya dan mengajak Tata yang masih bertanya-tanya pasal jam yang rusak. Karena yakin masih ada lima belas menit lagi sebelum bel berbunyi. Lalu, Galih memilih untuk mengekori keempat orang di depannya untuk pergi dari sana.

"Idan, gue belum minum ini," ujar Artha sambil memegang kotak susu rasa pisang yang diberikan Tata kepadanya.

"Udah itu nanti aja minumnya di kelas," sahut Hidan dan mendorong tubuh Artha.

"Dek! Semoga berhasil, ya!" teriak Relan sebelum keluar dari pintu atap gedung.

Ralan mengerjap beberapa kali, merasa heran sebab semua orang pergi dan meninggalkan dia berdua saja dengan Alina, ditambah sang Kakak yang mengatakan kalimat penyemangat sebelum turun dari sana, semakin membuatnya bingung saja.

Hening. Tidak terdengar perbincangan apa pun antara kedua remaja di sana, hanya ada bunyi kunyahan dan angin sejuk yang mengenai wajah.

Di tengah aktivitas memakan bekal, Ralan melirik Alina. Akhirnya si pemilik lesung pipi mau menyantap makanan yang dia berikan, senyum simpul terlukis di wajah tampan itu sekarang, tetapi seketika hilang saat melihat Alina menangis secara tiba-tiba.

"Enggak enak, ya? Atau keasinan?" tanya Ralan dan menjauhkan kotak bekal dari pangkuan.

"Alan, ada sesuatu yang belum gue bilang sama lo," ucap Alina dengan menatap netra lawan bicara.

"Apa?"

"Gue bakal pindah ke luar kota setelah ujian nanti," ujar Alina dan mulai sesenggukan.

Diam tanpa menjawab apa pun, Ralan tidak tahu kata apa yang harus diucapkan sekarang. Apa sebuah kalimat sampai nanti dapat meredakan sedih Alina? Atau semacam nasihat agar gadis itu tetap hidup bahagia? Bingung, dia bukan tipe orang yang mudah merangkai frasa. Selain itu, ada sesuatu yang aneh terasa di dalam dada, sedikit sesak dan nyeri di waktu bersamaan, tetapi Ralan sendiri tidak tahu apa penyebabnya.

"Alan, kita enggak akan bisa ketemu lagi di hari kelulusan, maaf enggak kasi tau ini sejak awal," ujar Alina dan berusaha menghapus air matanya.

"Alin, jaga diri baik-baik."

Setelah mengatakan itu, Ralan bangun dari duduknya. Dia pergi begitu saja dengan membawa tempat bekal, akan jadi semakin rumit jika meninggalkan benda kesayangan Hidan itu. Sambil meremas seragam di dada, pemuda tersebut terus berlari.

"Alan, kita enggak akan bisa ketemu lagi ...."

Kalimat tersebut terngiang di kepala Ralan ketika melangkah menuju kelas. Setiba di sana, dia melihat para sahabatnya dari pintu dengan sedikit buram. Saat berkedip, bulir bening pun turun dari mata pemuda itu.

"Dek, kenapa! Lo kok nangis?" tanya Relan dengan berlari mendekati sang Adik yang masih berdiri di ambang pintu.

"Bang, ada yang sakit di sini," jawab Ralan sambil menunjuk dadanya.

Sementara itu di unit kesehatan, Artha sudah duduk berhadapan langsung dengan Yandra. Semua berawal dari si penjaga tempat yang mengirimkan pesan dan meminta gadis itu untuk datang. Bisa dikatakan ini pertama kalinya mereka bertemu setelah kejadian seminggu yang lalu.

"Maafin gue, Tha," ujar Yandra membuka pembicaraan.

"Enggak, ini bukan salah Kakak. Kakak udah usaha buat buka hati untuk Artha. Seharusnya Artha yang bilang makasih karena udah kasi kesempatan," balas Artha dan mengulum senyum.

Merasa bersalah? Tentu saja itu yang menghinggapi hati Yandra. Bagaimanapun dia sudah berhasil mematahkan harapan Artha. Berniat mendekati gadis itu karena menganggap dapat menyembuhkan luka pada masa lalu, ditambah Hidan yang memintanya untuk menjalin hubungan dengan si pemilik rambut lurus.

Awalnya berpikir, mungkin mendekati Artha bisa menyelesaikan dua masalah pada saat bersamaan, tetapi tidak! Yandra salah besar dalam hal ini. Justru sekarang semua hancur, hubungannya dengan Hidan semakin keruh dan Artha juga mengambil jarak untuk menjauh.

"Jujur Artha kecewa, tapi ini sepenuhnya juga bukan salah Kakak," imbuh Artha lagi.

"Tha, gue mau kita coba dari awal lagi, kasi gue kesempatan untuk perbaiki ini. Perempuan waktu itu hanya masa lalu, Tha," balas Yandra dengan melihat netra si lawan bicara.

"Kak, Artha senang Kakak hargai perasaan Artha, tapi, apa Kakak pernah berpikir kalo ini enggak adil untuk Artha? Kakak berusaha bikin Artha jatuh semakin dalam di saat Kakak bahkan belum bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. Ini curang, Kak," balas Artha sedikit tertawa getir di ujung kalimatnya.

Artha mengetuk jari ke meja, mengalihkan pandangan ke luar melalui jendela unit kesehatan yang langsung memperlihatkan kelas Hidan dari sana. Seulas senyum terlukis di paras cantik itu, kemudian bibirnya mulai berujar, "Artha juga akan anggap semua yang udah lewat enggak pernah terjadi, Kak."

"Maafin gue, Tha," ucap Yandra untuk kedua kalinya dan membuat si lawan bicara menoleh.

"Hm, iya, Kak. Mulai sekarang Artha enggak akan ke sini lagi. Ayo, kita berteman," sahut Artha dengan tersenyum lebar dan mengulurkan tangan.


.
.
.
Halo semuanya, jangan lupa follow dan share 😘 terima kasih banyak udah bertahan di cerita MABF ini ya 😭 terhura banget ada yang baca hiks

Terima kasih untuk semua reader :) 

Semoga hari kalian menyenangkan, tetap jaga kesehatan manteman :*

.
.
.

My Absurd Best Friends [Tamat]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ