Alan Alin

93 41 74
                                    

Malam hari, semua penghuni panti sudah berkumpul di meja makan, menikmati hidangan yang dimasak oleh tamu yang datang di sana bersama Ralan.

Sambil mencampur nasi dengan kuah sop, Ralan sedari tadi terus bersemu. Bukan tanpa sebab, tetapi ketiga orang yang berhadapan dengannya terus melayangkan tatapan menggoda. Sesekali Artha dan Relan menaikkan alis sambil tersenyum nakal, bahkan Hidan yang tidak suka ikut campur langsung bersiul genit saat pertama kali datang.

"Enggak pernah bawa temen, sekalinya bawa langsung calon."

Begitulah kalimat pemuda berkacamata sebelum bokongnya mendarat di kursi berseberangan dengan Ralan.

"Kenapa dikit banget ambilnya, Alina?" tanya Sofi ketika Alina mengisi piring dengan nasi.

"Hm, emang biasanya segini, Tan," jawab si gadis berlesung pipi sambil tersenyum.

"Aduh hari ini enggak biasanya, 'kan? Jadi kamu harus makan yang banyak karena udah ke sini." Sofi mengambil piring Alina yang berada tidak jauh darinya, kemudian menambah porsi ke sana.

Tersenyum Alina menerima piring yang penuh berisikan makanan dari Sofi, rasa hangat memenuhi hati sekarang. Dia tertunduk, menyembunyikan tangis dalam diam, tidak ingin ada yang tahu dengan perasaannya saat ini.

"Ke-kenapa?" bisik Ralan yang duduk di sebelah kiri Alina.

Bukannya menjawab, Alina hanya mengangkat kepala dan melihat ke si lawan bicara. Mata memerah dengan genangan itu berhasil membuat Ralan melotot.

"Mama, Alina enggak sanggup makan banyak! Dia sampe nangis," ujar Ralan dengan intonasi tinggi, membuat semua yang ada di meja makan berhenti menyuap hidangan.

"Eh! Enggak gitu, Tan. Alina bukan sedih karena itu," bantah Alina dengan sedikit menyenggol kaki Ralan.

Sofi menatap Alina. Dia mengusap kepala gadis berlesung pipi itu sangat lembut. "Jadi kenapa?" tanyanya setelah mengangkat tangan dari surai cantik tersebut.

"Alina hanya rindu mama," jawab Alina dan mengalihkan pandangan ke makanan.

Hening. Tidak ada sahutan dari siapa pun, sepertinya enggan bertanya tentang keberadaan ibu Alina, bahkan Artha, Relan, dan Hidan yang awalnya berisik sudah diam, memilih fokus pada piring masing-masing.

Sementara itu, di kediaman Yandra. Tampak dia tengah duduk di depan televisi dengan terus menatap kosong layar kaca yang menyiarkan acara komedi. Tidak ada ekspresi apa pun yang muncul di wajah itu kala pikiran terlalu sibuk mengingat perbincangannya dengan Hidan sore ini.

"Gue mau deketin Artha."

"Ya udah, silahkan," balas Hidan dan menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Yandra. Lalu, segera berbalik menjauh dari sana.

"Lo yakin!" teriak Yandra yang membuat sang Adik berhenti.

Hidan mengepal tangan erat, menarik napas dalam, dan mengeluarkan perlahan. Sedikit menoleh, dia mulai membuka mulut lalu berujar, "Yakin, banget malah. Tapi ... kalo lo nyakitin Artha, gue enggak akan pernah anggap kita saudara lagi."

Tersentak, Yandra tidak mengira bahwa Hidan akan mengatakan hal yang begitu menyakiti perasaan. Dia sendiri tahu jika sejak dulu hubungan mereka bukan seperti saudara pada umumnya. Namun, selalu berusaha menjadi Kakak yang baik adalah tujuan pemuda berkulit pucat tersebut. Jika menyakiti hati Artha dapat menorehkan luka bagi sang Adik, bagaimana mungkin ia sanggup untuk tidak menjaga gadis itu?

"Gue bakal jaga Artha!" sahut Yandra sedikit berteriak agar suaranya tidak teredam bunyi hujan.

Yandra terkejut hebat saat listrik padam dan membuat pandangannya menggelap sampai tersadar dari lamunan.

My Absurd Best Friends [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang