Kita Bakal Ketemu Lagi

56 29 39
                                    

Beberapa minggu berlalu, semua murid hanya perlu menunggu hasil yang mereka peroleh setelah menyelesaikan ujian akhir semester lima hari berturut-turut. Memang sedikit sulit di mata pelajaran pertama, tetapi semuanya berjalan lancar ketika lembar jawaban sudah dibagikan.

Di atap sekolah, Artha duduk sendiri sambil mengayunkan kaki, melihat langit cerah siang hari seusai lelah membersihkan kelas pagi ini. Pikirannya kembali mengulang ucapan Hidan ketika mereka pulang dari taman malam itu.

"Cinta pertama gue itu lo," ujar Hidan dan menghentikan langkahnya.

"Hm? Kenapa tiba-tiba bilang itu?"

"Jangan bikin gue malu udah bilang itu," balas pemuda itu sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Lo juga cinta pertama gue, Idan," ucap Artha lalu melihat Hidan yang ada di sampingnya.

"Tapi itu dulu, Idan. Mungkin waktu masih lima belas tahun, gue ragu sama perasaan sendiri." Gadis itu tertawa dan melangkah mendahului si sahabat berkacamata.

"Iblis kecil!" Teriakan itu berhasil membuat Artha berhenti.

"Apa perasaan itu udah enggak ada lagi?" tanya Hidan dalam satu kali tarikan napas.

Sedikit mengeratkan pelukan ke peliharaan, Artha merasa sesuatu di dalam dirinya sedikit bergetar hanya karena ucapan Hidan. Beberapa pertanyaan juga muncul di otak minimalis gadis itu, semacam alasan si lawan mengatakan hal tersebut atau beberapa hal aneh yang lain.

"Kita semua saudara sekarang, Idan," jawab Artha setelah menoleh sambil tersenyum lebar.

"Ah, ya ... lo bener, kita saudara," balas Hidan, terdengar sedikit kekecewaan di ujung kalimatnya. Namun, apa si lawan bicara sadar itu?

Artha kembali menggerakkan tungkai, berjalan sambil terus membawa anjing kecil dalam gendongan. Sesekali menghela napas, masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Artha!" Panggilan seseorang menyadarkan si gadis berambut lurus dari lamunannya.

Mulai bangun dari posisi duduknya, Artha melihat ke arah pintu masuk atap gedung sekolah. Tampak Ralan panik dengan bahu yang naik turun seirama tarikan napas.

"Ada apa?" tanya gadis itu dan menghampiri si pendatang.

"Alin enggak ada ke sekolah hari ini!" pekik Ralan hingga orang di depannya menutup kedua telinga.

"Terus? Lo mau gue gimana? Nangis sambil kayang dan minum susu pisang?" ujar Artha dengan menaikkan sebelah alisn.

"Heh, enggak gitu. Ayo kita ke rumahnya! Dia pasti belum pergi," ajak Ralan sambil menarik tangan si sahabat cantik.

"Kenapa? Lo mau minta oleh-oleh?"

"Bukan gitu ... gue mau lihat dia sebelum ke bandara."

Artha menyentak tangan sampai terlepas dari genggaman Ralan, menolak untuk diajak pergi oleh si sahabat pemalu. Jujur saja, dia sedikit kesal sekarang.

"Kenapa, Tha?" tanya Ralan sedikit mengerutkan kening.

"Lo itu enggak suka dia, 'kan? Jadi, kenapa kita harus pergi ke rumahnya? Kalo lo enggak punya keberanian untuk bilang perasaan lo, Alan. Gue pikir lo enggak berhak tunda kepergian dia cuma untuk bilang selamat tinggal." Artha berdecih di akhir kalimat dengan tangan menyilang di depan dada.

"Gue ... gue bingung, Tha. Gue takut perasaan gue nyakitin dia," ujar Ralan, kemudian tertunduk.

"Alan, gimana ceritanya lo nyakitin dia, sedangkan lo orang yang bikin dia senyum? Sekarang gini aja, deh! Lo nyamperin dia, terus bilang lo suka dia atau kita enggak akan ke sana? Gue kasi dua pilihan," tawar Artha sambil mengudarakan jari.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now