Enggak Niat Punya Pacar?

159 59 84
                                    

Malam hari, semua penghuni panti diminta oleh Sofi untuk belajar. Wanita paruh baya yang kerap dipanggil mama itu tidak membiarkan para anak asuhnya di kamar, melainkan harus berkumpul di ruang tamu setelah menyelesaikan ritual makan bersama.

Tampak empat anak tertua tengah sibuk di dapur. Dua di antara mereka mencuci piring di wastafel dapur yang bersebelahan dengan lemari es, sedangkan selebihnya sibuk mengelap meja makan panjang yang terletak tidak jauh di depan kitchen set putih milik sang Mama.

"Gaes, gue lagi mikirin sesuatu," ujar Artha setelah meletakkan piring yang baru Hidan bersihkan ke rak yang ada di sisi kanan kulkas. Ucapan gadis itu berhasil membuat semua yang ada di ruangan bercat biru muda tersebut melihat ke arahnya.

"Lo bisa mikir?" sahut Hidan sambil mendecih pelan kemudian mengeringkan tangan ke apron merah muda yang dikenakan.

Ralan yang mendengar perbincangan kedua sahabatnya itu mengulum bibir. Kembali ia letakkan kain lap ke laci di bawah wastafel bersamaan dengan milik sang Kakak.

"Idan, lo jahat banget, ih!" Artha mengerucutkan bibir, pergi dari sana setelah mengambil es krim dan camilan yang berada di keranjang kecil atas lemari es.

"Tolong, Tha. Jangan sok kayak anak gadis yang manis dengan pita pink babi di rambut, deh!" ucap Ralan sedikit berteriak, agar Artha bisa mendengar dari balik rak hitam yang menjadi sekat antara dapur dengan ruang televisi di depan sana.

Pink baby, oi! Jangan bikin maki, Ralan!” balas Hidan setengah meringis dan menutup matanya.

Relan yang masih berdiri di samping meja makan hanya menggeleng pelan. Sesekali terlihat kerut di kening, saat Hidan dan Ralan berbicara dengan Artha menggunakan intonasi yang cukup membuat telinganya berdengung.

“Udah ributnya, kita belajar aja ayo! Bukunya udah gue bawa dan letakin di meja depan tv,” ujar Relan dengan tersenyum lebar hingga mata kecilnya tertutup.

Mendengar perkataan Relan, Hidan dan Ralan pun saling pandang, seakan memberi isyarat sambil menggerakkan bola mata dan berkedip lalu tersenyum licik.

“Dek, jangan coba pengaruhin Idan untuk enggak belajar, ya!” larang Relan sambil berjalan menuju tempat Artha berada sekarang.

“Eh … i-iya, Bang. Ini kedip-kedip karena cacingan kayaknya,” tampik Ralan dan menggosok mata dengan telunjuk kemudian menarik tangan Hidan yang ada di sampingnya, agar ikut ke ruang televisi.

Artha menengadah, melihat tiga orang yang sekarang tengah berdiri di sisi kirinya. "Ngapain ikutan?" ujar gadis berkuncir itu dan mencoba membuka bungkus keripik kentang.

"Belajar, kita ‘kan enggak kayak lo," jawab Hidan dan disetujui oleh Ralan dengan anggukan.

Artha berdecih dan memutar bola mata, berusaha tidak peduli dengan perkataan sahabat berkacamatanya itu lalu fokus untuk membuka bungkus jajanan di tangan.

"Sini biar gue buka!" titah Hidan kemudian merampas camilan Artha dan duduk di sebelah gadis itu, diikuti si kembar yang mendaratkan bokong tidak jauh dari sana.

Setelah kembali mengambil makanan ringan miliknya, Artha mulai memasukkan beberapa keping keripik ke mulut, mengambil remote televisi, dan menekan tombol hijau di sana.

"Oi! Minggir kepala, gue enggak kelihatan," seru Artha kepada Ralan yang duduk di depannya, membelakangi meja tempat buku diletakkan.

Ralan menggeser bokong lalu menghela napas. Mulai ia ambil tumpukan yang ada di meja, membuka halaman, dan berusaha keras untuk bisa memahami tiap rumus serta angka yang tertera.

"Mama ke mana?" tanya Relan yang ada di kanan meja kepada Hidan.

"Hm … di kamar," jawab Hidan tanpa melihat lawan bicara.

My Absurd Best Friends [Tamat]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora