Semua Tentang Alin dan Alan

71 28 33
                                    

Hari semakin gelap terlihat dari jalanan yang mulai sepi. Namun, Ralan dan Alina baru pulang setelah mengantar Rara kembali ke sang Ibu ketika bertemu di halte. Meski kencan ini tidak sepenuhnya bisa mereka nikmati berduaan, tetapi bukan masalah. Ke kebun binatang sambil menemani bocah berusia empat tahun tidak buruk juga.

Ralan melirik Alina. Jika diingat lagi, gadis itu banyak tertawa, bahkan kerap kali lesung pipinya terlihat jelas. Dia suka itu. Tunggu! Suka? Ah, ya! Tidak bisa dipungkiri lagi, si pemuda berambut cookelat gelap menyukai senyum tersebut. Apa ini pertanda Ralan memiliki perasaan yang sama?

"Jangan dilihatin terus nanti naksir," ledek Alina sambil terkikik dan membalas pandangan Ralan yang sudah teralihkan.

"Ja-jangan GR!"

"Alan, ada yang mau gue ceritain. Mungkin setelah ini, lo akan mikir gue enggak berasal dari keluarga yang baik-baik," ucap Alina sambil terus melangkah.

"Ceritain aja."

"Lo pasti sering dengar rumor di sekolah, apalagi di kelas gue. Tentang gue anak pembunuh. Iya, 'kan?" tanya Alina yang dijawab anggukan oleh Ralan.

"Itu bukan sekadar rumor, tapi emang kenyataannya."

Mata Ralan membola, sedikit terkejut, tetapi berusaha untuk tidak terlihat oleh Alina. Takut gadis itu merasa tersakiti karena ulahnya.

"Keluarga gue enggak pernah hidup harmonis. Ayah selalu mabuk-mabukan dan ibu banting tulang untuk biaya kehidupan kami setelah ayah bangkrut. Waktu ayah enggak dikasi uang sama ibu, dia bakal pukulin ibu sampe lebam dan pingsan. Bukan cuma ibu, tapi gue juga sering jadi korban kekerasan ayah. Suatu hari, waktu pulang sekolah, gue lihat rumah penuh darah dan ayah udah enggak sadarin diri dengan luka besar di perutnya." Alina mengambil napas dalam dengan sedikit menengadah.

"Gue cari ibu ke mana-mana, sampe akhirnya ketemu dia udah duduk di sudut kamar mandi. Ibu nangis, mukanya pucat, terus berkali-kali bilang bukan dia yang bunuh. Enggak lama setelah itu, polisi datang, katanya tetangga kami yang laporin ada keributan di rumah. Ibu gue dipenjara karena dijatuhi hukuman pidana sebagai pembunuhan. Sampe sekarang, ibu gue masih di penjara, Alan."

"Terus setelah itu lo tinggal sama siapa?" tanya Ralan penasaran.

"Gue sama nenek dari ibu, pindah ke desa terpencil selama beberapa tahun dan balik lagi ke sini untuk pendidikan yang lebih baik. Tapi, sekarang nenek udah makin tua, dia enggak bisa biayain sekolah gue lagi. Karena itu gue mutusin untuk pindah ke rumah adik dari ibu yang ada di luar kota. Dia mau bantu dana sekolah gue dengan syarat, setelah lulus gue harus bantu usaha keluarganya. Nenek juga udah di sana lebih dulu beberapa minggu lalu. Mungkin gue bakal ambil ujian paket C kalo enggak bisa keterima di sekolah baru nanti, tapi enggak apa, semuanya bakal baik-baik aja."

Ralan mengangguk pertanda mengerti kisah yang diceritakan Alina. Dia menganggap Alina gadis yang kuat, pasti sulit menghadapi masalah berat di usia yang masih kecil. Jika dilihat sekarang pun, gadis itu tampak menjalani hidup dengan normal meski sering tersirat sendu di netra cantiknya.

"Apa sekarang lo anggap gue perempuan yang enggak berasal dari keluarga baik-baik?" tanya Alina ragu-ragu.

Ralan mengambil topinya dari kepala Alina, mengenakan dengan sedikit menutupi wajah. Lalu mulai dia melihat mata cokelat gelap gadis itu sebentar saja.

"Hm ... gue enggak mikir itu sama sekali. Lo tau, Alin? Kita enggak jauh beda. Bokap gue selingkuh, bukan satu atau dua kali. Gue juga enggak terlalu yakin karena waktu itu umur gue masih kecil. Tapi, yang paling gue ingat waktu itu mama berdiri di balkon kamar. Kalo dibayangin lagi, rasanya ngeri banget. Mama gue tertekan karena bokap nikah lagi tanpa persetujuan dia. Mungkin mama pengen bunuh diri dulu. Yang jelas gue dan Bang Elan nangis-nangis terus bilang, kalo mama masih punya kami meski bokap udah pergi," jelas Ralan sambil sedikit tersenyum miris.

"Kita hampir sama, 'kan?" imbuhnya kemudian terkekeh.

"Jadi itu alasan lo cegah gue berdiri di tepi atap gedung sekolah?" tanya Alina yang dijawab anggukan oleh si lawan bicara.

Mulai melengkungkan bibir ke atas, Alina merasa gemas terhadap Ralan yang begitu polos waktu pertama kali pertemuan mereka. Menangis dan menasihatinya agar tidak bunuh diri hanya karena masalah kehidupan, bukankah sosok itu sangat berhati lembut untuk seorang laki-laki?

"Oh, ya! Gue hampir lupa."

Alina berhenti melangkah, merogoh tas selempang lalu mengeluarkan sebuah dasi dan pena. Dia meraih tangan Ralan untuk terulur ke arahnya, kemudian memberikan apa yang ada di genggaman kepada pemuda itu.

"Dengan gini kita udah putus, 'kan?" ucap si pemilk lesung pipi sambil tersenyum.

Ralan melihat tanpa bicara, enggan membuka mulut untuk menyahut perkataan Alina. Sesuatu terasa nyeri, dia tidak paham dengan apa yang terjadi di dalam hati. Kata putus terlalu menyakitkan untuk didengar sekarang, tetapi bukankah itu yang diinginkannya ketika menjalin hubungan sepihak ini? Lalu ... mengapa ada penyesalan kini?

Mulai menggenggam erat apa yang tengah dipegang, Ralan menggigit bibir bawah karena masih belum sanggup untuk menatap netra cantik Alina.

"Alin," panggilnya masih tertunduk.

"Hm."

"Gue enggak bisa antar lo pulang sampe depan rumah. Gue harap kita enggak ketemu lagi setelah hari ini. Selamat tinggal, Alin."

Ralan memutar arahnya, berlari menjauh tanpa peduli dengan gadis yang ditinggalkan begitu saja.

Usai menatap punggung Ralan, Alina langsung menekuk lutut dan menyembunyikan wajah dengan kedua tangan. Bahu itu naik turun diikuti isakan pilu, tidak pernah tahu bahwa akan sesakit ini.

"Gue harap kita enggak pisah dengan cara ini. Selamat tinggal, Alan," lirihnya dengan meremas lengan baju.

Di tempat lain, Hidan masih setia menggendong Artha meski mereka sudah turun dari bis. Sebenarnya, gadis itu berulang kali menolak agar bisa berjalan sendiri, tetapi si pemuda berkacamata melarang, mengatakan beberapa hal aneh, seperti cacing yang akan masuk ke pori-pori, bakteri penyebab kaki berjamur, atau semacamnya.

"Intinya kalo udah banyak kuman terus lukanya infeksi nanti bisa diamputasi, emang lo mau?"

Itulah yang dikatakan Hidan sampai Artha sedikit takut untuk menginjak tanah.

"Idan?"

"Hm."

"Idan?"

"Iya, apa!"

"Idan ...," panggil Artha untuk kesekian kali.

"Sekali lagi lo panggil, gue banting, nih!"

"Gue cuma tes telinga lo minus kayak mata juga atau enggak," ucap Artha lalu memainkan rambut Hidan dengan jari yang dibuat seperti gunting.

Berhenti sekejap usai menghela napas, Hidan mengeratkan tangan yang memegang tungkai Artha, berusaha agar tidak membuat gadis itu terjatuh. Mulai kembali melangkah sedikit cepat, dia pikir mereka harus secepatnya tiba sebelum matahari terbenam.

"Idan!" pekik Artha yang membuat Hidan berhenti.

"Lihat ke atas!"

Hidan memicingkan penglihatan dari balik kacamata, berusaha mencari sesuatu yang menarik atau apa pun yang membuat Artha sampai histeris beberapa detik lalu, hanya untuk memintanya melihat ke langit sore.

"Enggak ada apa-apa," ucap si pemuda berkacamata sedikit berdecih.

"Emang."

Hidan mengumpat dalam hati, berpikir sia-sia sudah menghentikan langkahnya untuk mempercayai omong kosong Artha.

Saat pemuda berkacamata berkacamata kembali berjalan, Artha mengeratkan pegangan ke bahu tegap itu. Dia menengadah, melihat awan yang sudah berubah warna menjadi jingga kemerahan.

"Idan?" panggilnya sambil menutup netra

"Hm."

"Siapa cinta pertama lo?" tanya Artha yang membuat langkah Hidan sedikit melambat.

"Lo."


.
.
.
UwU UwU 😗 kalo kalian siapa nama cinta pertama kalian? 🙈❤️
.
.
.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now