Malaikat Cantik 'Tak Bersayap

62 22 26
                                    

Artha menatap kosong pintu yang ada di depannya dengan pikiran mengingat setiap kenangan yang dimiliki bersama sang Mama. Dimulai pertemuan mereka, hadiah berupa boneka hingga membacakan dongeng sebelum tidur.

Sedikit menghela napas, Artha berusaha semakin banyak mengambil oksigen, sesekali mata bulat itu tertutup dengan tangan memijat bawah netra. Di dalam hati dia bertanya-tanya, ekspresi apa yang harus ditunjukkan saat melihat sang Mama yang berada di dalam sana. Haruskah tersenyum? Namun, apa bisa?

Pintu yang terbuka, membuat Artha mengangkat kepala. Tampak semua Adik-Adik berwajah pilu muncul dari sana. Mereka datang ke si kembar dan Hidan yang duduk tidak jauh dari si cantik. Satu per satu memeluk ketiga Kakak tertua, berharap mendapatkan kekuatan dengan terus berbagi kesedihan bersama.

"Kak Artha, giliran Kakak," ujar Fero sambil menyapu mata dengan telapak tangan.

Langsung bangun dari duduk, Artha berjalan mendekati pintu dan meraih knop dengan perasaan campur aduk. Mulai memutar apa yang ada di tangan hingga terbuka, dia melangkah lalu kembali menutup dari dalam.

Sosok itu melihat raga terbaring lemah yang ada di ranjang, tetapi tidak lama. Di beberapa detik selanjutnya, dia membuang pandangan ke samping, mengusap air mata yang sudah menetes dan membasahi pipi.

"Artha ...," panggil Sofi, membuat nama yang diucap menoleh.

Usai mengambil napas sedikit dalam, Artha berbalik, menatap sang Mama yang sepertinya sejak tadi telah mengulas senyum hangat.

"Mama," gumamnya dan mulai berjalan ke kursi yang ada di sebelah ranjang.

Sofi memandang wajah Artha yang tidak berani menatapnya. Mulai jemari kurus itu meraih tangan si cantik yang ada di samping lengan, kemudian mengelus pelan.

"Artha, mau dengar dongeng putri duyung?" tawarnya yang dijawab gelengan pelan si lawan bicara.

Artha mengangkat kepala, membalas pandangan hangat yang diberikan Sofi sejak tadi. Mata cekung tersebut membuat sakit merasuki dada. Tidak! Dia tidak bisa menahan lagi, rasanya terlalu penuh di dalam dada kini. Tanpa sadar, tangis yang dibendung pun pecah, butir-butir bening turun dari mata bulat si cantik berambut lurus.     

"Jangan nangis … Artha cantik kalo senyum," ujar Sofi dan mengusap pipi gembul di sana.

Mencoba memegang tangan sang Mama yang ada di sisi wajah, Artha mengecup telapak itu dengan penuh rasa sayang. Digenggamnya erat, seakan takut kehilangan sosok lemah tersebut seketika.

Di dalam hati Artha penuh penyesalan. Andai saja … andai dia tahu penyakit Sofi jauh lebih cepat. Mungkin akan lebih banyak kenangan yang bisa diukir bersama sang Mama. Namun, nyatanya tidak demikian.

"Artha, rambut kamu cantik hari ini, siapa yang rapiin?"

"Artha sendiri," jawab si pemilik rambut lurus sambil tersedu.

"Wa ... Artha udah bisa nata rambut sendiri, Mama jadi tenang untuk pergi suatu saat nanti."

"Enggak, Mama enggak boleh! Artha cuma bisa sisir, Artha enggak bisa ikat rambut dengan rapi. Artha butuh Mama untuk ikat rambut, bacain dongeng untuk kalo mimpi buruk. Artha enggak bisa, Ma ... Artha enggak bisa kalo Mama pergi," bantah Artha dalam tangisnya dengan terus mengeratkan genggaman.

Sofi menggeleng pelan, tahu benar jika Artha akan jauh lebih emosional dari semua anak yang diasuh, bahkan melebihi anak kandung sendiri. Gadis itu istimewa dan selalu menjadi alasan amarahnya ketika berada di panti. Namun, bukan berarti dia tidak menyayangi Artha.

"Mama, Artha mau jagain semua yang ada di panti."

Kalimat Artha di masa kecil terngiang di kepala Sofi, gadis kecil yang tersenyum waktu itu sudah menjadi cantik dan manis seperti yang dilihatnya sekarang. Namun, lengkungan bibir yang dulu, tidak lagi tampak di wajah itu saat ini.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now