Pesan Dari Mama

49 24 37
                                    

Suara knop pintu diputar, membuat orang-orang yang ada di depan ruang rawat Sofi bangun dari duduk. Setiap perhatian tertuju penuh tanya ke Relan. Mata sembab dan wajah yang basah itu, berhasil memberi kekhawatiran semua penghuni panti.

Relan menyeka air di sudut mata dengan punggung tangan, menunduk sekejap lalu kembali menengadah dan tersenyum ke semua yang tengah melihatnya. Netra kecil itu tertuju pada seorang pemuda berambut cokelat gelap di sana.

"Dek, Mama minta lo masuk," ucapnya sambil mendekat dan mengelus puncak kepala sang Adik.

Ralan berjalan ke pintu, mengulum bibir bawah dan mengambil udara sampai netra bening itu tertutup. Pada menit selanjutnya, mulai dia masuk usai memutar knop.

Karena melihat sang Mama yang memandangnya, Ralan melambaikan tangan ke arah sosok cantik yang masih berbaring di sana.

Ralan melangkah menuju kursi yang bersebalahan dengan ranjang rawat Sofi, duduk sambil terus melihat wajah pucat sang Mama. Banyak yang ingin dikatakan, tetapi semua seperti tercekat di tenggorokan pemuda itu.

"Hai, Alan," sapa Sofi dan tersenyum manis.

"Ha-hai, Ma," balas Ralan dengan bibir bergetar.

"Kasi Mama senyum kamu, bisa?" pinta Sofi yang dijawab gelengan oleh sang putra.

Tidak, jangan salah paham. Dia bukan membangkang atau semacamnya, tetapi tersenyum di saat melihat tubuh kurus dan mata cekung sang Mama itu terasa sulit untuk dilakukan.

"Sekali aja ...," bujuk Sofi.

Sedikit menarik sudut bibir ke atas, Sofi mengangkat tangan dan mengelus puncak kepala Ralan dengan lembut. "Rambut Alan udah panjang," ucapnya sambil terkikik.

"Ma, jangan pergi ...," lirih Ralan sambil mengelap air mata dengan tertunduk.

"Alan, lihat Mama," pinta Sofi yang dituruti si lawan bicara.

Mulai menangkup wajah Ralan dengan sebelah tangan, Sofi menghapus jejak sungai kecil yang ada di pipi itu dengan telunjuk. Dia tahu, ini pasti sulit untuk putranya sekarang.

"Mama bahagia kamu terus ada di samping Mama, tapi Mama enggak bisa menjamin bisa tetap ada di sisi kamu, Alan," ucap Sofi lagi, kemudian menarik tangan menjauh.

Tersedu. Ralan tidak bisa mengatakan apa pun, selain meremas selimut yang ada di sisi tangan kanan Sofi. Otaknya terasa kosong kini, semua kata yang disusun untuk menyemangati sang Mama seakan raib begitu saja.

"Jangan nangis, Mama enggak pernah ajarin jadi cengeng kayak gini," ujar Sofi dan meraih tangan besar Ralan yang ada di tepi ranjang.

Selepas membalas genggaman, Ralan mengecup punggung tangan Sofi sekali dan mengelus lembut. Berusaha tegar, dia kemudian menarik sudut bibirnya agar bisa tersenyum seperti yang diminta sang lawan bicara.

"Ma, Alan janji enggak akan nakal lagi. Alan enggak akan ambil toples kesayangan Mama untuk ulat daun di kebun panti. Alan akan nurut apa yang dibilang Bang Elan, Alan juga enggak akan mudah terpengaruhi sama Artha," ujar Ralan sambil sesekali menghapus air yang jatuh dari matanya tanpa diminta.

Ralan menarik napas sebanyak-banyaknya, berusaha menambil udara lebih banyak agar sesak yang dirasakan tidak begitu memenuhi dada.

"Ma, Alan udah bisa bikin kue, Alan bakal ikut kursus memanggang setelah lulus dan akan sewa tempat untuk usaha sendiri. Alan juga punya rencana masa depan untuk keluarga kecil Alan nanti, punya seseorang untuk terus dijaga dan disayang. Ma, Alan mau Mama ada di samping Alan untuk setiap perjalanan itu. Alan mau Mama yang potong pita untuk peresmian toko kue nanti. Alan mau Mama yang pertama kali suap kue peresmian toko. Mama, Alan udah dewasa sekarang, punya rencana hidup yang matang dan Alan yakin, Mama senang dengan ini. Karena itu … Mama enggak boleh tinggalin Alan," tambah Ralan lagi.

Mulai meletakkan kepala di samping lengan sang Mama, Ralan sekarang sudah tidak sanggup untuk mengangkat wajah sekadar menatap paras cantik nan pucat milik Sofi. Memohon juga percuma, apa artinya keinginan jika Tuhan sudah berkata lain? Takdir tetap berjalan seperti yang sudah digariskan, dia tidak berdaya saat ini.

"Alan, Mama senang dengan semua rencana kamu. Mama harap semuanya bisa tercapai. Alan, Mama harap kamu tetap jadi Alan yang sekarang. Lembut, baik hati, polos, dan suka tolong orang lain. Mungkin suatu hari nanti kamu akan temui beberapa hal yang sulit, tapi jangan takut, ya? Semua yang terdekat selalu ada buat dukung kamu, Alan, semua sayang dan cinta kamu. Jadi, jangan sedih untuk waktu yang lama," pinta Sofi sambil mengelus rambut sang putra bungsu.

Ralan mengangkat kepala, memandang Sofi dengan tatapan sendu, tetapi berusaha tersenyum selebar mungkin. Air yang membanjiri wajah dihapus perlahan, bangun dia dari duduk, kemudian mengecup kening sang lawan bicara sambil menutup mata, memberikan rasa cinta yang dipunya untuk Mama.

"Alan akan panggil Idan," ujarnya lalu berlalu dari sana.

***

Setelah masuk ke ruangan bercat putih, seorang pemuda berkacamata melangkah menuju tempat Sofi berbaring, dikecupnya kening wanaita itu penuh kasih sayang. Lalu, mulai dia mendaratkan bokong ke kursi yang ada di sebelah ranjang.

"Mama enggak boleh banyak bicara," pintanya dan meraih tangan kurus di sana.

"Kamu selalu pemarah, Idan," Sofi terkikik dengan sangat pelan.

"Jangan ketawa, jangan banyak gerak, dan ... jangan pergi, Mama," lirih Hidan dengan wajah kesal, tetapi matanya sudah berlinang.

Lagi. Satu orang kembali menangis, membuat Sofi menghela napas. Mulai memegang pipi Hidan lembut sampai bendungan yang sudah ditahan itu hancur dalam sekejap. Sedikit mengusap sisi wajah tampan tersebut pelan, dia berusaha menghapus setiap air yang jatuh dari mata indah yang menatapnya kini.

"Kacamatanya basah, jadi berembun," kata Sofi dan menarik benda yang bertengger di atas hidung mancung Hidan.

Terisak, pemuda berkacamata menutup wajah dengan telapak tangan, tidak mau terlihat lemah seperti ini. Mama sudah lelah dan tidak kuat, hidan tahu dan enggan membuat Sofi akan menjadi lebih sakit nantinya.

"Idan, kamu itu kuat, hebat, dan pintar. Suatu saat nanti, Mama yakin kamu jadi orang sukses dan bisa bahagiain siapa pun dengan cara kamu sendiri. Mungkin kamu sedikit pemarah dan cerewet, tapi semua yang kamu lakuin sampe sekarang, udah cukup buat kamu jadi orang yang beharga."

Sofi meraih tangan Hidan, menggenggam, dan mengelusnya dengan ibu jari secara perlahan. Dilihatnya wajah yang masih terisak itu, tampak ujung mata dan hidung si pemuda berkacamata sedikit memerah.

"Terima kasih, udah gantiin tugas Mama selama ini. Jaga yang lain, ya?" imbuh Sofi dan tersenyum.

"Ma, maafin Idan yang enggak bisa jadi kuat seperti yang Mama bilang. Idan lemah dan enggak bisa tanpa mama. Gimana caranya tetap kuat di saat matahari Idan pergi gitu aja? Ma, Idan enggak bisa kalo tanpa Mama. Maaf kalo egois, Ma," balas Hidan dengan menunduk hingga menyentuh tepi ranjang.

Hidan rapuh saat ini, ah, tidak! Bukan sekarang, tetapi sejak pertama kali tahu tentang penyakit Sofi pun dia sudah lemah, seperti rantin kecil yang akan patah jika sedikit saja diterpa angin.

Sebelah tangan Hidan memukul pelan dada, berharap rasa sesak yang ada di sana akan hilang. Benar-benar perih, sesuatu akan hilang dalam hidupnya. Dia tidak baik-baik saja, semua yang dikatakan kepada orang di luar ruangan untuk tetap tenang hanyalah bualan. Pemuda itu berusaha keras bak karang di depan Artha dan penghuni panti yang lain. Namun, sungguh! Hidan tidak berdaya, bagai seekor siput yang hendak kehilangan rumah tercinta.

"Ma ... terima kasih udah jadi tempat pulang ternyaman yang Idan punya ...," lirih Hidan, kemudian mengecup lama punggung tangan dalam genggamannya.


.
.
.
.
Hiks berikan rate untuk bawang di sini 👉👈 1-10
Terima kasih untuk kalian yang udah baca kisah ini sampai sejauh sekarang 😗♥️
.
.
.
.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now