Karena Bukan Bocah Lagi

57 27 22
                                    

Hening menyelimuti, Artha masih terpaku dengan mulut yang terbuka, serta melotot dan berkedip beberapa kali. Masih belum percaya apa yang baru saja didengarnya, gadis itu pun memasukkan kelingking ke telinga.

"Maksud gue, lo banyak tanya. Lagian kenapa malah bahas ini?" ujar Hidan dengan berdehem terlebih dahulu.

Si lawan bicara memukul kepala Hidan pelan, kesal karena sempat berpikir cinta pertama pemuda berkacamata itu adalah dia. Lagi pula jika diingat lagi, rasanya tidak mungkin karena pernah terdengar bahwa Artha bukanlah tipe gadis yang Hidan suka.

Usai menurunkan Artha tepat di depan pintu panti, Hidan langsung pergi ke dalam, meninggalkan gadis itu untuk masuk sendiri tanpa perlu digendong lagi.

"Oi! Kok gue ditinggal, sih!" teriak Artha ketika yang diajak bicara sudah hilang dari pandangannya.

Di dalam sana, Hidan berlari cepat menuju kamar, menutup pintu rapat, kemudian merosotkan tubuh tingginya ke lantai. Sambil memegang dada, dia menarik napas dalam, merasa detak jantung sangat cepat hingga sengaja meninggalkan Artha, takut debaran yang menggila bisa terdengar.

"Hampir aja," gumamnya lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Hidan tersentak kala mendengar suara dari benda yang disandar. Dia berdiri, berbalik, dan memutar kenop pintu. Kemudian sedikit membola netra di balik kacamata itu ketika melihat orang di depannya.

"Idan ...," lirih si pendatang sambil terisak.

Air mata membanjiri wajah Ralan. Dia sesenggukan sambil menyembunyikan wajah di lengan yang ditekuk.

"Ralan, lo kenapa?" tanya Hidan pelan lalu membuka topi si pemuda berambut cokelat.

"Idan, di dalam sini sakit," jawab Ralan dan menunjuk dada.

Perlahan menarik tangan Ralan agar masuk ke kamar, Hidan tidak mau ada yang mendengar rintihan seorang pemuda berusia tujuh belas tahun mengalahkan bocah sekolah dasar. Dia memegang bahu si sahabat berambut cokelat, mengelus perlahan lalu meminta pemuda itu untuk duduk di tepi ranjang. Setidaknya Ralan harus tenang dulu, sebelum menceritakan semua kejadian yang membuatnya pulang seperti bayi, pikir Hidan.

Sepuluh menit berlalu, Hidan menghela napas, kemudian memberikan segelas cokelat panas kepada Ralan. Sangat lembut dia mengelus punggung sahabat pemalunya itu agar merasa lebih baik.

"Enak?" tanya Hidan saat melihat Ralan sudah meneguk minuman.

"Kayak cokelat."

Mau maki, tapi enggak mungkin dia lagi sedih, batin Hidan menahan kesal.

"Jadi? Kenapa lo pulang-pulang nangis?"

"Idan, Alin mau pindah sekolah setelah ujian semester nanti," jawab Ralan sambil memegang gelas lebih erat.

"Terus? Seharusnya lo senang, 'kan? Menurut dari cerita lo, kalian jadian sebelah pihak doang, lo enggak ada rasa ke dia."

"Iya, seharusnya gitu. Tapi, terasa aneh waktu tadi dia balikin semua yang diambil dan dia bilang putus. Gue enggak tau apa yang gue rasain, Idan. Gue sedih dan marah di waktu yang sama," balas Ralan dengan tatapan menuju cokelat panasnya.

Hidan mengacak rambut Ralan, membuat sang empu melihatnya. Lalu dia berujar, "Bukannya itu berarti lo ada perasaan ke dia? Kenapa harus bingung, cukup lo bilang aja."

"Lo yakin, Idan? Gimana kalo misalnya ini cuma rasa takut kehilangan teman aja? Enggak lebih."

"Ha ... kalo gitu terserah aja, gue udah coba buat bantu, tapi kalo lo ngotot itu bukan perasaan suka yang romantis, gue bisa apa?" ujar Hidan kemudian berdiri dan menjauh dari sana.

My Absurd Best Friends [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang