Apa yang Ingin Dilakukan di Masa Depan?

69 34 41
                                    

Ujian semester sudah semakin dekat, hanya perlu menghitung hari saja. Semua murid akhir tahun diminta mengisi kuisioner rencana hidup, tentang bakat yang dimiliki dan universitas apa yang akan menjadi tujuan mereka setelah lulus nantinya.

Artha meletakkan pena di antara hidung dan bibir, sudah dua jam melihat kertas yang diberikan wali kelas pagi ini. Tatapan datar ia arahkan ke kata masa depan yang ada di lembar kuisionernya.

"Artha, coba pikirkan baik-baik waktu isi. Nilai kamu enggak buruk meski enggak terlalu tinggi juga, tapi ini menyangkut masa depan kamu."

Kalimat itulah yang dikatakan sang wali kelas ketika Artha mengambil kertas miliknya ke kantor dewan guru. Walaupun mengangguk pertanda mengerti, tetapi dia sama sekali tidak tahu harus mengisi apa sekarang.

"Apa gue tanya ke yang lain, ya? Mungkin dengan tau mereka pada isi apa, gue jadi tercerahkan seperti bayi baru lahir dengan pantat putih kenyal," gumam Artha lalu berlari ke luar kamarnya sambil membawa kertas dan pena.

Selepas melangkah menuju ruang santai, Artha mendapati Ralan sedang menonton televisi bersama beberapa anak panti yang lain. Mereka tertawa ketika tokoh kartun kotak bewarna kuning sedang dihina oleh gurita abu-abu berkepala besar.

Artha mendekati perkumpulan, berdiri di belakang sofa tempat Ralan duduk. Pandangan gadis itu tertuju ke layar kaca, fokus beberapa menit pada layar kaca hingga akhirnya ikut larut dalam candaan tokoh animasi berbentuk bintang laut.

"Mirip lo, Tha," ledek Ralan sambil tertawa.

"Yee ... enak aja. Dia lemot kayak lo, Alan," balas Artha dan memukul kepala Ralan dari belakang menggunakan pena.

Ralan menengadah, melihat wajah Artha meski lebih jelas ke lubang hidung gadis itu. "Lo ngapain bawa-bawa pulpen? Tumben belajar, biasanya juga makan, tidur, berak doang," ujarnya dan membuat si lawan bicara menunduk.

"Ah, ya! Ini gue mau tanya," ucap Artha sambil menunjuk ke luar ruangan, seolah memberi isyarat agar mereka membicarakannya jauh dari anak-anak yang lain.

Ralan mengalih pandang, mengangkat bokong dari sofa, kemudian mengikuti langkah Artha ke ruang tamu setelah memberikan remote televisi kepada Fero yang ada di sampingnya.

Seusai duduk di sebelah si sahabat cantik, Ralan memandang netra bulat itu, menanti kalimat yang akan Artha ucapkan. Namun, tidak terdengar apa pun, kecuali gadis tersebut yang memberikan kuisioner untuk dibaca.

"Lo hanya perlu isi ini, apa perlu nyontek juga?" tanya Ralan dengan menggoyangkan kertas di tangannya.

"Enggak, bukan itu, Alan. Gue cuma bingung mau isi apa. Lo sendiri gimana?" Artha balik bertanya, sempat meringis sebelum kalimat pertama.

"Rencana masa depan gue bisa punya toko roti dan kue. Setelah lulus sekolah nanti, gue bakal kursus, fokus ke bidang memanggang gue pikir itu cukup. Terus kelar dua tahun dan dapat sertifikat, gue coba cari kerja di toko. Mulai buka usaha roti dan kue secara pelan-pelan, uangnya bisa gue pake untuk panti dan sekolahin adek-adek," jawab Ralan dengan pandangan menuju ke arah lembaran yang ada di tangannya.

Tertunduk, Artha merasa belum memikirkan masa depan seperti Ralan. Pada saat semua orang dengan serius tentang pengisian kuisioner, dia malah masih tidak tahu arah tujuannya setelah lulus sekolah beberapa bulan lagi.

"Artha, lo kesulitan isi ini, ya? Gue pikir lo bisa tanya Idan atau Bang Elan untuk bantu, mungkin dengar pendapat yang lebih tua bisa bikin otak mini lo mikir agak jauh," ucap Ralan dan memberikan kembali kertas milik si lawan bicara.

Ralan beranjak dari sana. Dia sangat tahu kegelisahan Artha tengah ini, tetapi sadar dirinya bukanlah pemberi solusi yang baik.

Artha bangun dari duduknya, mulai berjalan ke dapur, dan mendapati Hidan tengah mencuci piring di sana. Dia mendekat ke arah pemuda berkacamata, menatap dari samping tanpa mengatakan apa pun. Menurutnya, tidak perlu mengutarakan tujuan datang ke sana jika sosok itu tidak bertanya.

"Gue pikir, kalo di mata lo ada laser, gue udah bolong," ucap Hidan sambil mengelap tangannya yang basah ke handuk kecil di laci sebelah wastafel.

"Ada apa?" imbuhnya lagi dan membalas pandangan Artha.

"Bantu gue tentang masa depan," ujar si lawan bicara jelas.

"Maksudnya lo minta gue jadi masa depan lo?" tanya Hidan dengan menaikkan sebelah alis.

"Enggak gitu, jangan minta dimaki, Idan. Ini udah malam dan gue enggak mau bikin keributan di panti kalo ada panci rusak di sini," balas Artha dan memicingkan matanya sambil mengudarakan kepalan.

Hidan melirik tangan kanan Artha yang membawa kuisioner dan pena. Mulai dia merampas, membawan ke meja makan, dan duduk di kursi lalu meminta si sahabat cantik bergabung di sampingnya.

"Sebelum isi tujuan masa depan, lo harus tau bakat yang lo punya dulu," ucap Hidan dan menunjuk kolom yang ada di lembar kuisioner.

Artha berpikir keras sampai kening berkerut, berusaha mencoba mencari bakat apa yang dipunya selama ini. Namun, nihil, dia pikir tidak memiliki suatu kelebihan seperti Relan yang pintar berhitung, Hidan jago bahasa asing, serta Ralan yang bisa membuat kue.

"Apa yang bikin lo pusing buat isi ini?" tanya Hidan sambil menumpu pipi dengan tangan kanan ke meja, kemudian menatap paras cantik di hadapannya.

"Gue pikir gue enggak ada bakat," jawab Artha sedikit menggeser bokong agar melihat lurus si lawan bicara yang ada di sebelahnya.

"Gue pikir enggak ada yang salah dari yang lo bilang," ledek Hidan yang berhasil mendapatkan pukulan kuat di bahunya dari Artha.

"Serius, Idan ...."

"Iya, ya kita mulai serius ini. Iblis Kecil, di sini ada pertanyaan yang harus lo jawab, salah satunya gini, 'mau menjadi apa kamu di masa depan?'. Meski belum tau bakat lo apa, seenggaknya berpikir untuk jadi apa di masa yang akan datang, pasti udah terbayang, 'kan?" tanya Hidan yang dijawab gelengan oleh Artha.

"Idan, gue ragu. Setiap tahun cita-cita gue berubah, semakin tambah umur gue pikir jadi superman itu enggak akan mungkin, apalagi pengen bikin roket dan ketemu sama kelinci bulan. Akhirnya gue tau kalo gue enggak akan jadi apa-apa. Gue cuma beban di panti, Idan," balas Artha dan menatap kosong ke arah kertas yang sekarang sudah di atas meja, kemudian menggigit pelan bibir bawahnya.

"Iblis Kecil, lo enggak perlu jadi apa-apa untuk bantu yang ada di panti. Enggak harus jadi dokter untuk nyelamatin nyawa orang lain atau guru buat bisa ajarin adek-adek. Lo hanya perlu jadi diri lo sendiri. Tentang bakat, gue pikir lo cukup percaya diri untuk berbicara di depan umum. Gimana kalo misalnya kuliah ambil jurusan ilmu komunikasi? Nanti pasti diasah lagi tentang public speaking. Kita enggak pernah tau yang akan terjadi, gue pikir lo bisa jadi seseorang yang berguna dengan jadi diri lo yang sekarang. Pembawa acara atau reporter, coba pikirin tentang itu, menurut gue bakat lo ada di sana," jelas Hidan melihat mata Artha yang memandangnya entah sejak kapan.

Artha tersenyum lebar sambil mengangguk. Dia pikir meminta saran kepada Hidan sudah tepat karena menjadi lebih tahu tentang diri sendiri sekarang. Meskipun agak ragu dengan reporter atau pembawa acara. Namun, tidak ada salahnya mencoba.

Dia suka berbicara di depan umum dan memberikan informasi, bukankah bekerja di tempat yang kita suka adalah hal yang menyenangkan? Mungkin ada kerikil yang akan membuatnya gagal, tetapi tidak masalah, gagal bukan berarti harus berhenti. Cukup istirahat sejenak lalu coba berjalan lagi. Semua akan baik-baik saja, Artha yakin itu.

"Terima kasih, Idan. Sekarang gue tau mau isi apa," ujar Artha dan mulai menuliskan rangkaian kata di kuisionernya.

.
.
.
Halo semuanya!!! Hari ini double update nih, jangan lupa follow dan share ya? 😗❤️
.
.
Di chapter ini, kalian paling suka dialog yg mana, nih? Isi di kolom komentar, ya? 😘

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now