Pergi Bersama Yandra

86 32 58
                                    

Setelah banyak kejadian yang terlewati, Artha ingat benar bahwa dirinya dan Tata berteman baik. Mereka pergi dan pulang sekolah bersama si kembar serta Hidan. Namun, ketika ayah Tata meninggal, bocah kecil itu pindah rumah tanpa mengatakan apa pun kepada Artha dan tiga sahabatnya.

"Kalo balik lagi juga seharusnya Tata kasi tau kita, 'kan Berry?" tanya Artha saat menoleh ke kiri, melihat boneka kesayangan.

Artha menghela napas kasar, merasa otak miniaturmya dipenuhi memori indah masa kecil bersama Tata. Lelah, dia tidak biasa berpikir terlalu keras, langsung merasa sepuluh tahun lebih tua.

Getaran ponsel membuat tangan Artha bergerak ke samping tubuh untuk mengambil benda pipih itu. Terlihat nama Romeo si malaikat tampan di layar, dengan sedikit berdehem, dia pun menggeser ikon hijau.

"Halo," ucap orang si seberang sana.

"Halo, Kak. Kenapa nelpon? Bukannya kita janji pukul tiga, ya?" tanya Artha heran.

"He? Kemaren gue bilang tiga, ya? Gue lupa, Tha."

"Jadi, sekarang Kakak ada di mana?" ucap Artha sambil menggoyangkan kakinya.

"Di depan panti."

"Ha! Beneran? Kalo gitu Kakak masuk aja dulu, Artha siap-siap, oke?"

Setelah mendengar jawaban dari orang di seberang sana, Artha langsung menutup panggilan secara sepihak. Mulai dia bangun dari posisi tidur dan berlari menuju lemari, mencari pakaian yang sesuai untuk dikenakan hari ini.

Sementara itu di ruang tamu. Tampak Yandra sudah duduk sambil meminum teh yang dihidangkan oleh Hidan. Selain dirinya, ada seorang bocah berpipi gembul yang ada di sana yang sesekali melirik wajah Yandra yang tampak begitu bersinar, bagai patung batu dipahat dengan sempurna.

"Kak?" panggil si bocah dengan sedikit menengadah ke samping.

"Hm?"

"Kakak mau pergi sama siapa?"

"Artha," jawab Yandra singkat.

"Hm ... Kakak suka Kak Artha kayak kami suka dia?" tanya si bocah yang membuat Yandra membalas pandangan polosnya.

Gadis kecil berpipi gembul yang biasa dipanggil Miya itu mendengus, merasa tidak mendapatkan jawaban melainkan senyum manis dari sosok tampan di sampingnya itu.

"Hm ... Kak Artha itu ceroboh dan usil. Kak Artha enggak pintar, tapi enggak pernah nyerah buat belajar bareng Bang Elan, dia selalu nyusahin Kak Idan, Bang Alan, dan Bang Elan juga. Kak Artha enggak jago masak dan suka banget bikin keributan di panti. Tapi ... Kak Artha itu baik. Ah, enggak! Bahkan kata baik aja enggak cukup. Bagi kami semua, Kak Artha itu istimewa. Jadi, Miya cuma enggak mau ada orang yang nyakitin Kak Artha," ucap Miya lalu mengalihkan pandang.

Terdiam. Yandra tidak bisa membalas apa pun dari apa yang dikatakan bocah sepuluh tahun itu. Dia tahu tindakannya untuk mendekati Artha bukan karena benar-benar menyukai dalam artian yang romantis, tetapi sebab merasa gadis itu mirip dengan seseorang yang pernah dikenal pada masa lalu.

Miya memiringkan kepala, heran mengapa orang yang sekarang ditatapnya sama sekali tidak mengatakan apa pun lagi.

"Kak, Miya mau pergi ke dapur dulu. Kalo gitu hati-hati perginya nanti, ya?" pamit Miya, kemudian pergi menjauh dari sana setelah berdiri dari duduknya.

Yandra menatap punggung si mungil yang semakin jauh, tanpa sadar ada orang lain sedari tadi melihatnya dari samping sekat ruangan.

"Kak?"

Panggilan tersebut membuat Yandra memindahkan titik fokus matanya. Terlihat Artha dengan baju kemeja lngan panjang merah muda yang dimasukkan ke dalam rok putih selutut.

Yandra menatap dari ujung kaki hingga kepala, sedikit pangling dengan penampilan Artha yang dianggap berbeda dari biasanya. Rambut yang sengaja digerai dan disisir rapi, membuat wajah itu semakin terlihat cantik.

"Udah siap?" tanya Yandra yang dijawab anggukan oleh Artha.

***

Artha berjalan beriringan dengan Yandra, menyusuri tiap rak buku yang tersusun rapi, sesekali mengambil dan membaca judul, jika dikiranya menarik maka akan membaca deskripsi yang ada di sampul belakang.

Sungguh, dia merasa sangat girang sekarang, bahkan sampai kebingungan mengatakan apa kepada orang yang sekarang ada di sebelahnya. Yandra tampak fokus, itulah yang Artha lihat sejak tadi, Sampai enggan mengajak pemuda berkulit pucat itu untuk bertukar argumen tentang buku.

"Artha?"

"Ya?"

Akhirnya, apa yang diharapkan Artha terwujud. Dia merasa lebih nyaman sekarang karena Yandra mengajaknya berbincang.

Artha menoleh ke si pemanggil. Namun, ada yang aneh, Yandra tidak membalas pandangannya, melainkan melihat orang yang berdiri tidak jauh dari tempat pemuda itu berada.

Tampak wanita berambut panjang dengan kulit putih di sana. Dia membulatkan mata ketika mendapati Yandra memanggilnya. "Geya?" gumam bibir itu, kemudian berlari setelah melepaskan buku begitu saja.

"Kak ...," panggil Artha dan berusaha menyentuh pundak Yandra. Namun, sebelum tangannya berhasil menggapai, sosok itu sudah pergi menjauh.

Termangu Artha, tidak paham dengan apa yang baru saja terjadi. Seorang wanita anggun datang dan Yandra memanggil dengan namanya. Tunggu dulu, otak gadis itu masih berusaha mencerna setiap adegan beberapa detik lalu. Sekarang, dia mulai mengerti apa maksud perkataan Yandra tiga hari lalu.

"Artha nama yang cantik."

"Kenapa tiba-tiba bilang itu?" tanya Artha bingung.

"Cuma pengen."

Kilas balik perbincangan dirinya dan Yandra tengiang di kepala. Cantik, kata itu tidak tertuju untuk nama Artha, tetapi pemilik lain yang dia sendiri tidak tahu siapa.

Kecewa, Artha merasa sesuatu di dalam dadanya terasa sedikit nyeri. Bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Ditinggal oleh orang yang mengajaknya pergi pada akhir pekan, itu menyakiti perasaannya.

"Makan es krim, ke zona permainan, makan mi ayam pake bakso besar, minum teh thailand plus boba. Itu semua cuma keinginan gue hari ini, tapi enggak terwujud," monolog Artha sambil meletakkan buku kembali ke rak dan berlalu dari sana.

"Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya sang kasir kepada Artha yang kesusahan membuka pintu.

"Mas, saya enggak tau gimana cara bukanya," jawab Artha dengan mata berlinang, membuat sang kasir panik, kemudian segera berjalan mendekat dan menggeser pintu agar bisa terbuka.

Kayaknya dia perasa banget, enggak bisa buka pintu sampe mau nangis gitu, batin sang kasir sedikit risau.

Artha mulai melangkah ke luar toko buku, tatapannya kosong menyusuri jalanan. Wajah itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun sekarang. Kacau, dia benar-benar merasa tidak karuan, ingin menangis, marah, tetapi tidak tahu ke mana melampiaskan semua emosi tersebut.

Terus berjalan lalu Artha berdecih karena hujan turun deras, mengguyur tubuh dengan lancang tanpa permisi. Gadis itu menunduk, melihat sepatu putih yang sedikit kotor, kemudian menengadah untuk membiarkan air menyejukkan wajahnya.

"Gue baru cuci sepatu ini kemarin!" teriak Artha, berhasil membuat orang-orang yang lewat sedikit terperanjat.


.
.
Halo semuanya terima kasih sudah mengikuti MABF, jangan lupa share dan follow ya 😘
.
.
Semangat terus untuk kita 💘
.
Btw aku mau kasi semangat untuk my friend, yaaa musim ujian ini emang berat banget sih, aku harap dia dan kalian yang lagi ngejalaninnya bakal dapat yang terbaik 😘
.
Semangat terus my bocil in WP sunHT06 ❤️😘

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now