Beneran Pergi?

85 37 88
                                    

Kedua netra itu saling bertemu, mencoba untuk berbicara meski tanpa mengujar kata. Tangan yang lebih besar mulai melunak, membiarkan pergelangan si mungil terlepas begitu saja.

"Maaf ... maaf, Relan," ujar yang ditatap dan tertunduk.

Hening, tidak ada apa pun keluar dari mulut mereka setelah kalimat itu, hanya ada rintik hujan yang terdengar memenuhi suasana malam di depan minimarket.

Relan berdecih, kemudian menyisir rambut yang setengah basah dengan tangan kiri. Kembali dia pandang sosok pendek di depannya lalu menghela napas hingga terpejam.

"Kenapa lo pergi tanpa bilang sampai nanti, Tata?" tanyanya tanpa mengalihkan netra, berhasil membuat yang diajak bicara mengangkat wajah.

"Karena aku ragu kalo kita bakal ketemu lagi," jawab gadis yang dipanggil Tata itu lalu mengulum bibir.

Relan menangadah dan memijat dahi yang sempat berkerut dengan jari, berpikir tidak seharusnya kesal hanya karena kejadian di masa lalu. Kembali menoleh, dia mendapati Tata sibuk dengan payung yang entah sejak kapan diambil.

"Sini!" titah Relan dan segera merampas apa yang dipegang Tata.

Relan menekan tombol yang ada di gagang itu, mencoba sampai beberapa kali, tetapi tidak bisa. Berhenti sejenak, kemudian mulai menarik napas panjang lalu mengeluarkan semua kekuatan untuk membuka payung.

"Patah!" pekik Tata sedikit terkejut dengan melihat benda yang sudah terlempar ke depan.

Si pembuka tertunduk sekejap lalu melihat ke arah gadis yang ada di sampingnya. "Maaf," ujar Relan dengan sedikit tersenyum geli, mengundang tawa dari si lawan bicara.

***

Di dapur panti. Alina berkedip beberapa kali melihat adonan di depannya. Meski sudah memegang cetakan, gadis itu masih belum mengerti bagaimana agar bisa mengubah bentuk tepung yang sudah kalis itu.

"Jadi gini cara cetaknya?" tanya Alina setelah meletakkan cetakan bentuk bintang ke adonan, membuat Ralan yang bersebalahan dengannya melotot.

"Ih, bukan, Alin."

Ralan berjalan mendekati Alina, meraih tangan gadis itu dan menuntunnya dari belakang untuk menekan cetakan kuat ke adonan. Setelah dikira cukup rapi, dia pun kembali menjauh dari si gadis berlesung pipi.

"Jadi gitu caranya," terang Ralan tanpa mengalihkan pandangan dari loyang yang ada di meja.

"Alin?" panggilnya lagi karena merasa tidak ada sahutan.

Usai mengangkat kepala dari yang dipandang, Ralan menoleh ke Alina yang masih membatu sambil melihat punggung tangan. Alis itu bertaut ketika mendapati tingkah gadis yang dianggap aneh tersebut.

"Muka lo jadi merah, demam?" tanya Ralan sambil membuka sarung tangan plastiknya.

Sedikit pelan, Ralan menarik pundak Alina agar menghadapnya, meletakkan telapak tangan ke dahi gadis itu lalu melihat ke atas, seperti seorang ibu yang mengecek suhu tubuh si buah hati.

"Alan," panggil Alina sambil menggigit bibir bawah dan melihat si lawan bicara yang lebih tinggi.

"Gue pikir sesuatu terlalu berdebar di dalam sini," ujarnya lalu meletakkan tangan di dada.

"Lo sakit jantung?" tanya Ralan dan menjauh dari Alina.

"Kenapa lo tiba-tiba mundur?"

"Kata Artha penyakit jantung itu menular melalui pernapasan," balas Ralan, kemudian menutup hidung dan mulut dengan kedua tangan.

"Alan, gue pengen maki, tapi gue ingat kalo di sini banyak bocah," ujar Alina tersenyum lebar lalu meraih pisau dapur yang ada di atas meja.

Sementara itu di rumah sakit. Artha menyantap makanan yang ada di rantang, sesekali melirik Hidan yang sedari tidak melepaskan pandangan sedikit pun dari ponsel. Di dalam otaknya yang tidak begitu luas, dia berpikir mengenai pembicaraan pemuda itu dan Bayu beberapa saat lalu.

Setelah menimbang-nimbang untuk bertanya, akhirnya Artha pun membuka mulut. "Idan, apa yang lo bicarain sama papa mertua? Kenapa lama?" ujarnya dan melihat Hidan.

Hidan mengalihkan pandangan dari ponsel lalu menoleh ke kiri, membalas tatapan Artha. Fokus ia ke mata bulat si lawan bicara. "Minum dulu," titahnya sambil memberikan botol berisi air mineral.

"Jangan alihin pembicaraan!" Artha pun mengambil kasar apa yang diberikan Hidan, kemudian menenggak dengan perlahan.

"Gimana kalo misalnya gue balik ke rumah papa?"

Artha tersedak mendengar apa yang dikatakan Hidan, bahkan air yang sempat diminum keluar kembali dan tersembur ke wajah orang di hadapannya.

"Sorry, gue enggak sengaja," ucap Artha dan segera mengambil kacamata Hidan yang basah.

Si gadis berambut lurus mengambil tisu di atas meja dan mencoba untuk mengeringkan wajah Hidan, sampai mata minus itu beberapa kali terpejam dibuatnya

"Jadi lo beneran mau balik ke sana, Idan?" tanya Artha dan sedikit menjauh usai mengelap.

"Gue mau ganti baju dulu," pamit Hidan lalu bangun dari duduknya seusai mengambil kacamata dan jaket di meja.

Artha melihat punggung Hidan yang menjauh, sesuatu terasa nyeri di dalam dada sekarang. Dia belum mengerti, kenapa si pemuda berkacamata mengatakan hal semacam itu tiba-tiba, terlebih lagi tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkannya

Tertunduk sambil meremat kertas tipis di tangan, Artha merasa semua emosi penuh di hati sekarang. Apa Hidan benar-benar akan pergi dan tidak akan tinggal di panti lagi? Banyak pertanyaan berulang di otaknya. Dia sedih atau mungkin lebih dari itu.

"Artha?" panggil Hidan dan berhasil membuat Artha mengangkat kepala.

"Lo nangis?" imbuhnya lagi lalu berjalan mendekat.

Hidan melempar baju ke atas meja, duduk di sebelah Artha dengan pandangan sendu. "Artha, lihat gue," ucapnya dengan tangan berusaha menangkup wajah cantik itu.

"Idan, gue enggak mau pisah sama lo," isak Artha dengan terus tersedu.

"Kenapa lo enggak jawab pertanyaan gue? Lo beneran bakal pindah dan pergi ke sana?" tanya Artha dan menepis tangan Hidan yang menangkup sisi wajahnya.

Bungkam. Hidan diam tanpa menjawab, dia sendiri tidak tahu apa keputusan yang akan diambil setelah menerima pesan singkat dari sang Ayah. Bimbang, enggan menyakiti Artha, tetapi jika tidak pulang ke rumah maka pemuda itu tidak akan mendapatkan apa yang diinginkan.

"Idan, jawab gue," ucap Artha sambil sesenggukan.

"Gue cuma bilang misalnya, bukan beneran pergi," balas Hidan dan mulai mengusap wajah di depannya, menghapus jejak air yang ada di sana.

"Beneran?" tanya Artha dan dijawab anggukan oleh Hidan.

"Kalo lo ingkar janji, gue enggak akan pernah mau kenal lo lagi," ujar Artha dengan tangan sedikit meninju bahu si lawan bicara.

"Besok mama udah boleh pulang, sorenya lo jadi pergi?" tanya Hidan dan me.

"Hm, jadi, lo beneran enggak mau ikut gue?"

"Iya, gue enggak mau. Lagipula, gue pikir besok juga bakal sibuk di panti," balas Hidan jelas.

"Hmm ... ya udah. Oya! Idan gue mau bilang sesuatu," ucap Artha dengan mata membola sambil menggenggam tangan si lawan bicara.

Hidan sedikit membuka kelopak mata lebar karena Artha melakukan hal yang tidak diduga. "Ap-apa!" tanya pemuda itu sedikit menaikkan intonasinya.

"Gue masih lapar, ayo cari makan di luar," ucap Artha sambil tersenyum lebar.

"Jangan senyum gitu," sahut Hidan dan mengalihkan pandangan.

"Hm? Kenapa? Ha ... gue tau, pasti senyum gue buat lo terpesona, 'kan?" terka Artha sambil menyentuh bahu Hidan dengan telunjuknya.

"Bukan, tapi di sanaada cabe, gue jijik."

.
.
.
Halo semuanya jangan lupa tinggalkan jejak yak 😘😍
Do'akan MBBF bisa tamat sebelum tsun baru gaes😭🙈

My Absurd Best Friends [Tamat]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum