Idan, Kenapa?

98 39 95
                                    

Artha menatap kosong papan tulis sambil mengetuk pena ke meja. Pikirannya mengawang tentang teriakan Hidan hingga membuat seluruh penghuni panti berlari ke dapur semalam. Kebingungan tentu saja dirasakan, selama ini sang Mama tidak pernah lemah di mata gadis itu.

Sofi wanita paruh baya cantik yang selalu tersenyum ketika berdongeng kisah putri duyung, kemudian akan marah jika salah seorang anak asuhnya berbuat salah. Ya, demikianlah yang diingat Artha, tetapi ... melihat raga rapuh sang Mama, membuat sekujur tubuhnya mati rasa. Dia takut, bahkan sangat.

Meski bertanya kepada si kembar dan Hidan, Artha masih belum menemukan jawaban. Dia yakin ketiga sahabatnya tengah menutupi banyak hal. Namun, gadis itu sendiri tidak tahu apa.

"Mama cuma terlalu capek, Artha. Jangan cemas."

Kalimat itulah yang dikatakan Ralan saat Sofi sudah di rumah sakit. Meski dalam hati ada yang menganggu, Artha tetap berusaha bungkam. Dia enggan membuat keributan di kala sang Mama tengah tidak sadarkan diri semalam.

"Arthara!"

Tersentak. Artha langsung duduk tegak dengan kedua tangan dilipat rapi ke atas meja. Matanya tertuju ke orang di depan sana.

"Lanjutkan!" perintah sang guru yang membuat Artha mengambil buku di tangan Ralan.

"Yang mana?" bisik gadis itu kepada orang yang bersebelahan dengannya.

Ralan menaikkan kedua bahu sambil menggeleng pelan.

"Arthara, lanjutkan!"

"Eh, hm ... pada jaman dahulu—"

"Arthara! Ini pelajaran bahasa inggris bukan bahasa indonesia apalagi sejarah," ujar wanita paruh baya berlipstik merah cabai tersebut.

Artha menurunkan buku yang menutupi wajah, menelan ludah berat dengan menatap ngeri sang pengajar yang sudah berjalan mendekatinya.

"Keluar."

Kala mendengar perintah tersebut, Artha bangun dari duduknya. Segera dia beranjak ke luar seperti yang diminta.

Berbeda dengan Ralan yang ketakutan seperti Artha beberapa detik sebelumnya, Relan dan Galih yang duduk di belakang tampak sibuk mengupas kacang, kemudian menutup wajah dengan buku saat hendak menyuap ke mulut.

Sementara itu di kelas lain. Ketika semua orang sibuk menyalin tulisan yang ada di papan tulis, seorang pemuda berkacamata tengah menatap kosong buku sambil mengetuk-ngetuk telunjuk ke meja beberapa kali.

"Idan ...."

Panggilan seseorang berhasil membuat si pemuda berkacamata tersadar. Usai beberapa kali mengerjap, Hidan menoleh ke kiri, tepat di mana kepala si pemanggil sedikit terlihat di sana.

"Artha?" gumam Hidan mengerutkan kening.

"Idan ... ayo ke kantin, gue disuruh keluar karena enggak fokus belajar tadi," bisik Artha dengan semakin menunjukkan wajahnya dari jendela.

"Enggak bisa, lo sendiri aja sana gih," usir Hidan sedikit mengulurkan tangan untuk menekan kepala Artha.

Mulai Hidan mengambil pena, mengeja setiap kata yang ada di depan sana, kemudian menulis ke buku. Daripada menerima ajakan Artha lalu berakhir dihukum, lebih baik dia mengerjakan tugas yang seharusnya segera diselesaikan.

"Idan ...."

Hidan menghela napas, sempat berpikir bahwa Artha sudah pergi, tetapi nyatanya tidak. Gadis itu masih setia di luar sana dengan menekuk lutut dan berbicara sambil berbisik.

"Idan ...," panggil Artha lagi.

"Stt ... gue lagi belajar, lo ke kantin sendiri aja sana," bisik Hidan setelah melihat Artha dengan tatapan tajam.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now