Nama Romeo si Malaikat Tampan Ternyata ....

148 53 101
                                    

Hidan duduk di kursi sambil menatap tempat bekal makan siang yang sudah kosong, terdengar helaan napas keluar dari mulut saat pikirannya mengawang, kembali mengingat tentang pembicaraan bersama Ralan dan Relan semalam.

"Jadi, mama kenapa?" tanya Relan dengan memegang bahu Hidan.

Si pemuda berkacamata mengulum bibir sebentar lalu melihat ke arah pintu kamar, memastikan ruangan pribadi milik mereka bertiga tidak akan dimasuki oleh anak panti yang lain.

"Sakit," jawab Hidan dan menunduk, tidak ingin bertemu pandang dengan Relan dan Ralan yang duduk di depannya.

Ralan mengangguk pertanda mengerti. Dia akhirnya tahu alasan mengapa selama beberapa minggu ini Sofi jarang terlihat, bahkan semua urusan panti dialihkan oleh Hidan, seperti memasak dan menyiapkan semua keperluan para adik.

"Udah berapa lama?" Relan kembali melontarkan pertanyaan.

"Sebenernya ...  udah beberapa bulan mama sakit, kayaknya parah. Gue sendiri enggak tau sakit apa, tapi mama enggak mau anak-anak khawatir," ucap Hidan dengan tangan meremas ujung kaus yang dikenakan.

Relan menggeleng pelan. Dia merasa sedikit kesal karena sahabat berkacamatanya itu baru memberitahukan hal sepenting ini sekarang.

"Seharusnya lo enggak perlu tutupin ini dari kami, Idan," ujar Ralan dan menepuk puncak kepala si lawan bicara. Dia sangat yakin bahwa Hidan juga merasa bersalah karena baru membuka mulut tentang kondisi sang Mama.

"Maaf ...," lirih Hidan.

"Ya, enggak masalah, lain kali lo harus bilang semuanya ke kita. Kita enggak mau lo tanggung semuanya sendiri, Idan," pinta Relan dan dijawab anggukan oleh Hidan.

Hidan memandang kedua sahabat yang ada di depannya secara bergantian. "Jangan kasi tau ini sama Artha, ya? Dia pasti khawatir kalo tau kondisi mama," ujarnya.

Ralan dan Relan mengangguk bersamaan. Mereka juga tidak berniat sama sekali memberitahukan Artha. Bagaimanapun, kedua pemuda itu sangat yakin bahwa sahabat cantik mereka tersebut akan bersedih jika mendengar hal ini.

"Idan!"

Teriakan seseorang berhasil membuat Hidan tersentak. Segera pemuda itu melihat ke arah pintu kelas, tampak seorang gadis berkuncir dengan dahi berpeluh dan kotak bekal makan siang di tangan.

Dia masuk ke kelas Hidan dengan tergesa-gesa, membuat semua penghuni lain menatap aneh ke arah gadis cantik itu. Jangan lupakan beberapa bisikan juga terdengar dari orang-orang yang ada di sana. Namun, bukan Artha namanya jika peduli.

"Ada apa? Terus kenapa ini bawa-bawa bekal segala?" tanya Hidan saat Artha sudah berdiri di depannya.

"Ayo, ikut ke UKS!" ajak Artha dengan dahi berkerut.

"Lagian kelas lo jauh dari sana, ngapain ke UKS? Bukannya udah gue bilang lo harus makan bekal yang gue bikin? Kenapa malah dibawa-bawa gini?"

"Idan, ih, nanti aja ngomelnya. Ayo, ke UKS dulu! Gue enggak mungkin balik ke kelas cuma untuk ajak abang dan Alan, 'kan? Jarak UKS sama kelas lo lebih deket. Sekarang, ayo ikut gue!" geram Artha dan menarik tangan Hidan agar berdiri ikut dengannya.

Mereka berdua keluar dari kelas dengan terburu-buru. Berkali-kali pula Hidan bertanya, apa yang terjadi. Artha pun menceritakan suara yang terdengar di dalam unit kesehatan. Itu berhasil membuat pemuda berkacamata tersebut menuntun sahabatnya agar segera berjalan lebih cepat.

Hidan dan Artha berdiri tepat di depan pintu ruang Kesehatan sekarang. Mereka saling pandang seolah bertukar isi kepala, tentang siapa yang harus masuk duluan ke sana.

My Absurd Best Friends [Tamat]Where stories live. Discover now