Peneror

94 36 91
                                    

Pagi hari di sekolah. Artha menatap heran ke arah laci yang penuh dengan noda darah berbau anyir, alisnya bertautan karena sudah hampir empat hari ia mendapatkan hal aneh setiap kali tiba di kelas.

Artha menggeser mejanya menuju sudut ruang. Wali kelas juga selalu meminta untuk melakukan itu jika hal seperti ini terulang. Lalu, dia juga akan mendapatkan yang lain dari gudang.

"Lagi?" tanya Ralan dan Relan bersamaan ketika mereka masuk dari pintu belakang.

"Hm, iya. Gue jadi kepikiran, sebenarnya siapa yang ngelakuin ini," jawab Artha, kemudian mengambil tisu yang diberikan Ralan untuk membersihkan tangannya.

"Bahkan ada catatan kecil di dalam loker gue, tulisannya, 'Tinggalin dia'."

Mendengar lanjutan perkataan Artha, Relan terdiam. Mata kecil itu tertuju ke meja Artha yang masih terlihat menjijikan dengan noda merah kental.

Ralan melirik sang Kakak, mencoba menebak isi kepala sosok itu. Ingin rasanya dia bertanya kepada yang ditatap, tetapi segera diurungkan ketika melihat Relan menghela napasnya.

"Buat sekarang jangan terlalu dekat dengan cowok manapun," ujar Relan sambil menyibak rambut ke belakang.

"Gue enggak ada dekat dengan cowok manapun, gue selalu bareng sama kalian kok," sahut Artha yang mendapatkan anggukan Ralan pertanda setuju.

Terdiam. Relan mengerutkan kening, yakin ada sesuatu yang salah telah terjadi sekarang. Artha tidak pernah melakukan dosa besar, kecuali mencuri pena di kelas Hidan. Tentu saja, dipikir bagaimanapun tidak mungkin ada yang akan melakukan hal seperti ini, hanya demi sebuah alat tulis.

"Kalo gitu pemicunya dari kami," ujar Ralan memecah keheningan kelas yang baru diisi oleh mereka.

"Maksudnya?" tanya Artha dengan kelingking di lubang hidung.

"Lo enggak pernah dekat dengan cowok manapun, kecuali kami. Berarti ada orang yang enggak suka lo sama kami, entah itu gue, Abang, atau Idan," jelas Ralan sambil memegang dagu dan mengangguk.

Artha terpatung dengan jari yang baru saja selesai menggali emas, merasa otak kecilnya penuh dengan segala masalah yang terjadi sekarang. Segera ia mengelap tangan ke ujung rok ketika sebuah ide muncul di kepala hingga senyum pun terbit.

"Kenapa senyum-senyum? Jangan-jangan lo jadi enggak waras karena stres mikirin ini," terka Ralan sambil menggeleng pelan.

"Bukan, kayaknya gue butuh asupan ketampanan. Daripada mikirin ini, mending gue ke UKS sebentar, cuci mata buat liat Romeo si malaikat tampan," ujar Artha lalu memberikan tasnya kepada Ralan.

"Bye bye," imbuhnya lagi dan beranjak dari sana dengan sedikit berlari menuju ke luar.

Ralan dan Relan menepuk jidat mereka sendiri, merasa sia-sia membantu memecahkan misteri meja berdarah ini, padahal si pemilik saja terlihat tidak peduli sama sekali.

Sementara itu di belakang perpustakaan, seorang gadis melempar plastik berisikan cairan merah kental. Sedikit melirik ke kiri dan kanan, dia memastikan tidak ada yang melihatnya sekarang sambil memainkan kancing seragam.

Setibanya di tempat tujuan. Artha membuka pintu sedikit pelan dan mulai melangkah masuk ke sana. Tampak Yandra tengah serius membaca catatan obat di tangan, tanpa sadar gadis itu tidak berkedip menatap ciptaan Tuhan yang begitu menawan.

 Tampak Yandra tengah serius membaca catatan obat di tangan, tanpa sadar gadis itu tidak berkedip menatap ciptaan Tuhan yang begitu menawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Absurd Best Friends [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang