Buka Buku Baru

65 23 39
                                    

Beberapa bulan berlalu, ujian nasional dan hari kelulusan pun sudah berakhir. Semua siswa yang lulus bersiap untuk tes masuk ke perguruan tinggi. Beberapa ada yang tidak melanjutkan pendidikan, memilih ikut kursus atau bekerja karena lelah dengan buku-buku tebal penuh materi.

Di dalam taksi, seorang gadis duduk sambil melihat ke luar melalui jendela dengan sedikit mengulas senyum. Hari ini dia baru saja menyelesaikan ujian masuk universitas favorit dengan memilih jurusan yang diinginkan. Meski ragu lulus sebagai mahasiswa beasiswa, tetapi sosok mungil berambut lurus itu akan berjuang keras untuk bisa membiayai sekolah sendiri. Jika lulus tanpa jalur tanggungan pemerintah.

Mulai mengalihkan pandangan ke apa yang ada di tangannya, gadis berpipi gembul itu mendapati panggilan masuk dari benda pipih yang berada dalam mode hening. Tertera nama Relan di sana, segera dia menggeser ikon hijau, kemudian meletakkan ponsel ke telinga kiri.

"Halo, Bang Elan," sahutnya setelah mendengar suara dari seberang sana.

"Belum selesai juga tesnya? Gue udah kelar, nih! Mau dijemput atau gimana, Little Princess?"

"Udah di taksi, mau jenguk Mama," jawab si cantik bernama Artha sambil memandang beberapa tangkai bunga matahari di pangkuannya.

"Hm, oke. Kalo perlu apa-apa telpon gue atau Idan. Gue mau temenin Alan dulu ke tempat kursus. Katanya dia takut kalo sendirian," ujar Relan sambil terkekeh di sana.

Sedikit tertawa, Artha kemudian memutuskan panggilan jarah jauh selepas mengiyakan apa yang dikatakan si lawan bicara.

"Pak, berhenti!" teriaknya dari tempat duduk saat tiba di tempat tujuan.

Setelah keluar dari sana, Artha membayar ongkos kepada sang supir. Mulai mata bulat itu mengelilingi sekitar sambil terus memegang erat bunga yang dibawa.

Usai menghela napas, sosok cantik berpakaian kemeja putih dengan rok kotak-kotak itu melangkah masuk. Artha menyusuri jalan setapak yang dikelilingi rerumputan tinggi. Kakinya terhenti, tepat di mana tempat orang yang ingin dikunjungi terlihat.

"Hai, Mama. Hari ini Artha ikut tes masuk universitas jurusan ilmu komunikasi. Rasanya lega, Artha udah persiapan dari jauh-jauh hari untuk itu dan akhirnya kelar. Artha ambil jalur beasiswa, berharap bisa lulus, sih, tapi Artha kurang yakin. Oya! Alan juga mulai kursus hari ini, katanya dia gugup sampe jantungnya main lompat tali sama lambung. Lucu banget, 'kan?" Artha sangat antusias, netra cantiknya berbinar terang, seperti anak kecil berdongeng mengenai fabel yang disuka.

Artha menekuk lutut di sebelah tempat istirahatnya sang Mama. Mulai dia letakkan bunga ke samping tempat Sofi beristirahat. Seulas senyum terlukis pada wajah itu, tetapi cahaya indah di matanya sudah sirna, tergantikan sendu yang sukar diartikan.

"Mama benar, tentang menjadi dewasa itu sulit. Enggak, bahkan sangat sulit. Artha pikir, Artha enggak akan sanggup, Ma. Tapi, Artha ingat semua pesan Mama, Artha punya rumah dan bisa istirahat sebentar, terus jalan lagi ketika udah pulih. Ma, Artha sekarang berusaha buka buku baru untuk hidup. Kehilangan Mama adalah salah satu luka terbesar yang pernah Artha alami, tapi hidup tetap berjalan dan Mama juga pasti mau Artha tetap bahagia, 'kan? Artha berharga, itu yang Mama bilang. Ma, Artha harap Mama bahagia dan tenang di sana karena semua anak Mama ingat pesan Mama," imbuh Artha lagi, kemudian berdiri sambil membetulkan rok selututnya.

Ya, benar. Sang Mama sudah tiada pada hari pemberian pesan untuk setiap anak-anaknya. Sejak awal dokter sudah mengatakan penyakit Sofi bisa sembuh jika ditangani lebih cepat, tetapi sayangnya baru mulai diatasi saat kanker yang bersarang di otak sudah lebih dulu menggerogoti.

Artha melihat ponsel pintar, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Sudah saatnya dia pergi untuk kerja paruh waktu sekarang.

Beginilah kini, Artha belajar dan bekerja pada waktu yang sama. Berat? Pasti dirasakan. Namun, apa ada pilihan lain? Uang yang diberikan donator belum tentu cukup untuk menghidupi semua penghuni panti. Jadi sudah menjadi kewajiban keempat anak tertua membantu perekonomian di sana.

"Mama, Artha pamit sekarang. Ah, ya! Mama jangan khawatir di sana, Artha dan yang lainnya makan tiga kali sehari dan minum air putih yang cukup. Lain kali pasti Artha ke sini lagi."

Sementara itu di tempat lain. Relan dan Hidan tengah duduk di salah satu kafe yang berada tidak jauh dari tempat kursus Ralan. Dua cangkir teh serta beberapa potong kue menemani obrolan hangat, ah, bukan! Lebih tepatnya perbincangan dingin mereka.

Relan menyesap minuman, mencoba untuk tetap memikirkan semua yang baru saja dikatakan Hidan dengan tenang. Dia kesal, tidak! Mungkin lebih dari itu. Rasa kecewa dan marah tengah memenuhi dada pemuda bersurai legam saat ini.

"Maaf, Relan ...," lirih Hidan dengan sedikit menggulung bibir ke dalam.

"Percuma, Idan. Kalo dari awal lo udah mutusin itu untuk apa minta maaf lagi," balas Relan dan menatap tajam si lawan bicara.

Hidan mengalihkan pandangan ke jendela di sampingnya. Tampak seorang gadis berkuncir tengah berjalan mendekat sekarang. Dia tersenyum kecil, tepat seperti yang diduga, sahabat cantiknya itu tidak sadar jika tengah diperhatikan.

"Ini semua demi Artha dan kalian," ujar Hidan tanpa mengalihkan netra.

"Gue tau, Idan. Tapi, apa lo pikir ini adil bagi Artha? Lo bahkan enggak kasi tau dia tentang ini."

"Hm, gue tau ini curang, tapi berat buat gue kalo Artha cegah kepergian gue," ujar Hidan dan melihat si pemilik senyum menggemaskan.

Sedikit mengusap wajah kasar, Relan tidak percaya jika Hidan akan bertindak semaunya. Tidak! Ini bukan keinginan si pemuda berkacamata. Dia juga tahu semua itu untuk semua orang yang ada di panti, termasuk dirinya dan Artha.

"Bang Elan, Idan!"

Panggilan seseorang yang berhasil membuat Hidan dan Relan menengadah, melihat ke arah Artha yang sedang memegang beberapa gantungan kunci.

"Bukannya lo kerja?" tanya Hidan yang dijawab anggukan oleh Artha.

"Iya gue mau kasi ini dulu, tadi ada bazar di dekat jalan ke universitas, taunya banyak banget gantungan imut kayak gini. Jadi gue beli dan berpikir harus kasi ini secepatnya ke kalian," jawab Artha lalu duduk ke kursi yang sudah ditarik oleh Relan untuknya.

Relan melihat tangan Artha, tampak empat buah gantungan kunci dengan berbagai bentuk. Bunga matahari, pinguin, hati, dan putri duyung. Ya, dia tahu benar akan mendapatkan yang mana, bukankah ini sama seperti cokelat di hari kasih sayang? Ketika mereka kelas sepuluh dulu, bunga matahari akan menjadi hadiah yang diberikan gadis itu.

"Ini buat Abang, ini buat Idan, ini buat Alan, nanti tolong kasih, ya? Soalnya gue pulang telat, mungkin juga nginap—"

"Enggak boleh!" potong Relan dan Hidan bersamaan.

"Ya, gue enggak akan nginap kalo enggak mendesak. Lagian lantai atas minimarket juga kosong, gue enggak masalah tidur di sana karena bos enggak akan marah juga. Kalo gitu gue pamit, ya? Bye bye!" balas Artha lalu memutar bola mata malas, kemudian berdiri dan keluar dari kafe dengan sedikit berlari.

Netra Hidan tertuju ke punggung Artha yang menjauh dari jendela, merasa nyeri di dalam dadanya setelah mengingat harus secara terpaksa meninggalkan gadis itu.

"Lo yakin gue enggak usah kasi tau dia tentang alasannya?" tanya Relan yang dijawab anggukan oleh Hidan tanpa mengalihkan pandangan.

.
.
.
Hey Hey! Jangan lupa share dan follow gaes 😗♥️
.
.
Gimana, nih? Udah terjawab kan yang chap sebelumnya? 👉👈

My Absurd Best Friends [Tamat]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt